Part 20.3 - Realize

Start from the beginning
                                    

Pelayan tadi mengantarkan bilyet tagihan padanya dan Valeria syok menatap angka yang tertera pada tagihan itu. Tabungannya tidak cukup untuk membayar makanan-makanan itu! Bagaimana ini!? Mana sudah habis dimakan semua pula.

Dengan berat hati ia mengeluarkan kartu kredit yang diberikan Sean padanya. Ia tidak tahu pasti berapa jumlah tabungan yang diberikan Sean di rekeningnya, dan daripada risiko malu dikembalikan ia akhirnya memilih menggunakan kartu kredit. Sean pasti membunuhnya nanti saat menerima tagihan, tapi Valeria akan berusaha menggantinya.

***

Di hari ketiga, teman-temannya datang kembali ke rumahnya dan Valeria menolak untuk keluar rumah lagi. Sudah cukup ia menghabiskan tabungannya selama dua hari ini dan berusaha untuk tidak memakai uang Sean. Nanti ia banyak berhutang pada Sean dan ia tidak ingin itu terjadi.

Lagipula tujuan teman-temannya kemari memang memiliki maksud tertentu. Apa lagi kalau bukan melihat kakaknya? Sekarang saja mereka sedang pura-pura tertarik pada masalah modifikasi mobil dan bertanya pada Felix. Cih!

Valeria menatap ponselnya kembali. Sean benar-benar tidak memberikan kabar apapun selama tiga hari ini! Ia begitu kesal hingga rasanya tidak sabar untuk menunggu Sean kembali dan menghajarnya mati-matian. Tega-teganya Sean berbuat hal ini padanya!

Ia ingin menelepon dan mengirimkan pesan pada Sean, tapi ia sudah terlanjur marah padanya. Masa ia yang harus meneleponnya lebih dulu sih? Mau ditaruh dimana mukanya nanti? Sean bisa tahu kalau ia memikirkannya setengah mati.

"Menunggu telepon dari Papa ya, say?" tiba-tiba Dinda muncul di belakangnya sambil bertumpu pada punggung sofa.

Valeria terkesiap karena terkejut dan refleks menyembunyikan ponselnya.

"Ciehhhh..." teman-temannya ternyata sudah ada di belakangnya semua dan menggodanya.

Valeria berbalik dan memarahi mereka. "Apa-apaan sih kalian? Bukannya kalian lagi deketin Felix? Jauh-jauh sana!"

"Kita kan kasian ngelihat kamu galau, Vale." Mereka lalu duduk di samping kanan kiri Valeria.

"Aku udah bilang kalau aku nggak galau!!" Valeria menggertakkan gigi. Tapi ia akhirnya menyerah juga dan merasa tidak ada gunanya juga terlalu memproteksi diri dari teman-temannya yang sudah tahu aibnya ini.

"Kalian pernah pacaran ama cowok yang lebih tua nggak sih?" Valeria bertanya.

Mereka serentak menunjuk Indira. Indira menatap mereka dengan kesal sambil berkomentar. "Pernah sih memang, Vale. Pas kemarin sempet pacaran sama cowok kantoran, tapi nggak bertahan sebulan sih."

"Kenapa, Ra?" Valeria menjadi antusias mendengarnya.

"Nggak taulah. Nggak cocok aja. Ada aja yang terjadi yang bikin nggak cocok. Emangnya suamimu umur berapa sih, Vale?" Indira balik bertanya.

"Ng...Dia beda 13 tahun sama aku, Ra." Valeria menjawab dengan ragu-ragu.

Teman-temannya terkejut mendengarnya. Dinda tidak percaya perkataannya. Indira hanya berkata wow. Maudy malah mengaguminya dan Gwen tidak berkomentar.

"Dunia mereka berbeda dengan kita, Vale. Aku nggak tau persis sih bagaimana pemikiran orang-orang pada umur segitu. Kamu yakin bisa bertahan sama dia? Kalau dia bisa menerimamu sih nggak apa-apa. Mereka biasanya menganggap kita masih manja dan kekanak-kanakan. Biasanya mereka bakal bosen duluan ngeladenin kita. Menurutku sih ya. Jadi ini bukan ilmu pasti ato teori ilmiah."

Perkataan Indira hanya membuat Valeria menjadi bertambah galau. Bagaimana sih, tadi dia bilang dirinya tidak galau? Kadang-kadang Valeria merasa kesal dengan hatinya yang tidak mau sejalan dengan pikirannya.

Ia tidak mau memikirkan Sean seperti ini, sungguh. Tapi kenapa ia selalu memikirkan pria menyebalkan dan arogan itu sih? Bukankah ia memang ingin menjauh dari Sean agar tidak jatuh cinta padanya?

"Mau gimana lagi, aku sudah menikah dengannya." sahut Valeria.

Untuk sementara...lanjutnya dalam hati.

***

Valeria membuka pintu kamar yang ditempatinya bersama Sean. Kamar itu begitu rapi, sunyi dan tenang. ACnya juga tidak menyala, karena tidak ada yang menempati. Pengurus rumah Sean membuka tirai jendela rumah dan membuat cahaya matahari sore masuk ke kamarnya.

Saat teman-temannya sudah pulang tadi, ia menelepon sopir Sean dan menyuruhnya mengantarkan Valeria ke rumah dengan alasan ingin mengambil sesuatu. Sopirnya datang beberapa menit kemudian dan sampailah ia di rumah ini.

Valeria hanya berdiri terdiam tak bergerak di tengah ruangan kamar itu selama beberapa saat.

Ia memandang sekelilingnya dengan diam dan tidak mengerti apa yang dicarinya di tempat ini. Tapi ia begitu ingin kembali kemari meski tidak ada siapapun di sini.

Pelan-pelan ia membuka sepatunya dan menginjakkan kakinya di lantai kamar yang dilapisi karpet. Kesejukan karpet mulai terasa menyelimuti kakinya.

Biasanya ruangan ini selalu ramai saat ditempatinya bersama Sean. Ia menatap layar hitam LED TV dan teringat bahwa ia suka menyetel acara-acara televisi kesukaannya hanya untuk mengganggu Sean.

Sean paling tidak suka dengan acara The Running Man dan tiap ada acara tersebut Valeria sengaja menaikkan volumenya. Saat Sean marah ia hanya mengatakan kalau ini adalah bawaan bayinya dan Sean akhirnya berhenti memprotesnya.

Valeria menghela napas dan suaranya terdengar di tengah kesunyian kamar tersebut. Ia merasa lelah dan akhirnya menaiki tempat tidur untuk berbaring.

Rasanya sudah lama sekali ia tidak tidur di sana dan ia ingin merasakannya kembali. Ia menggelungkan dirinya seperti bayi di tempat tidur dan tiba-tiba penciumannya menangkap sesuatu. Aroma yang ia rindukan...

Ia langsung berbalik untuk menghirupnya. Aroma Sean samar-samar masih tersisa disana dan ia berusaha mencarinya. Tolonglah dirinya, Tuhan. Valeria merasa sudah gila. Ia merasa senang mendapati ada bagian dari diri Sean yang tertinggal disana meski tidak berwujud.

Sean masih akan pulang tiga hari lagi. Itu berarti 72 jam lagi untuk bertemu Sean. Itu artinya 4.320 menit lagi untuk melihatnya. Dan itu berarti 259.200 detik lagi untuk merasakannya. Apakah Valeria harus menghitung 1 hingga 259.200 detik itu mulai sekarang? Jika sudah sampai pada hitungan ke 259.200, Sean pasti sudah ada disini bukan?...dan nyata...

Valeria mendengar dirinya terisak.

Ya, ampun...Ia sudah tidak tahan dengan semua ini. Seandainya ada yang bisa mengatakan padanya semua yang ingin diketahuinya. Sean masih suka padanya bukan? Sean tidak bosan padanya bukan?

Lalu kenapa Sean tidak menghubunginya?

Kenapa...

Ia tidak percaya bagaimana waktu bisa berlalu begitu cepat dan semua kejadian yang menerpa mereka selama ini membuatnya menyayangi Sean. Padahal mereka mengawali pertemuan mereka dengan buruk. Sangat buruk malah. Dan Valeria pernah sempat memilih untuk melupakan Sean seumur hidupnya, memulai hidup baru bersama anaknya.

Seandainya ia benar-benar memilih untuk pergi dan melupakan Sean saat itu...

Ia tidak akan mengenal Sean dan segala kelembutan yang ada pada diri pria itu.

Ia tidak akan pernah merasakan perasaan kalut saat Sean hampir kehilangan nyawa menyelamatkannya.

Ia tidak akan pernah menitikkan air mata untuk Sean saat mengira dirinya telah ditinggalkan oleh Sean.

Ia tidak akan mengetahui bahwa Sean bisa tertawa.

Dan ia tidak akan tersiksa seperti saat ini....

Valeria merasa dunianya berhenti berputar saat tersadar atas apa yang terjadi pada dirinya saat ini.

Pertanyaan kedua, Apakah ia mencintainya?

Jawabannya: Iya...Ia mencintai Sean.

Dan itu adalah sebuah kata yang paling tidak diharapkannya di antara semua kata di dunia ini.

***

Jangan lupa vote ya.

(END) SEAN AND VALERIAWhere stories live. Discover now