13. apartemen dave! [re-publish]

800 46 6
                                    

Mobil jaguar Dave yang mengilap sudah meluncur di atas jalanan Ibu Kota

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Mobil jaguar Dave yang mengilap sudah meluncur di atas jalanan Ibu Kota. Sudah setengah jam perjalanan. Tiga puluh menit sebelum ini, mata-mata orang di homestayku menerjang habis aku dan Dave. Mereka menatap sambil ricuh. Berbisik-bisik. Mereka bergerombol. Office girl bergerombol dengan satpam. Dan penghuni lain pun sedang ramai di parkiran. Mau sarapan mungkin. Aku risih. Tapi, Dave melenggang amat santai sambil menyematkan kaca mata hitamnya. Aku pura-pura tersenyum—padahal di balik senyumku aku ingin ngacir duluan dari hadapan mereka. Wajar, pandangan mereka seperti itu. Respon seperti itu pula yang menghiasi wajahku saat pertama kali di hadapkan dengan sosok seperti ... Dave. Daveana.

Celana denim krem dengan paduan kemeja putih ditambah dengan sepatu pantofel warna coklat. Dave memang terlihat begitu rapi dan ... habis perempuannya. Maksudnya, tak ada sisi perempuannya.

"Gia suka sama kamu," Di jalanan yang lengang pagi ini. Di dalam mobil yang sama. Dave memulai pembicaraan.

"Nggak, dia cuma menghargai saya saja. Nggak mungkin dia suka sama saya, saya nggak cantik," Berani-beraninya mulutku jujur seperti tak ada kendali. Padahal, kalau saja aku menjawab nggak lah saja. Mungkin pembicaraan ini tak berlanjut.

"Saya bisa lihat dari matanya,"

"Saya nggak bisa lihat apapun, saya nggak tahu apa itu cinta. Setelah Abi saya pergi, setelah sahabat SMA saya meraih mimpinya masing-masing. Setelah saya kehilangan separuh dari bahagia saya. Saya hampir nggak percaya apa itu cinta." Seriusnya aku menjawab. Sekali lagi, padahal kalau bilang ada-ada aja kamu itu sudah pasti mengakhiri pembicaraan. Tapi, sayangnya, aku tak punya sedikitpun kemampuan untuk berhenti berbicara. Dave memperlambat laju mobilnya.

"Saya hidup dalam sekat yang saya buat sendiri. Saya nggak punya mimpi lagi," kataku. Pelan. Rasanya ada yang memanas. Aku ingin menangis. Mengingat semuanya. Selepas Abi pergi, hilang semua mimpi-mimpi yang sudah kurajut amat rapi. Berantakan. Tak bersisa.

"Kamu punya saya sekarang, saya mau bantu kamu, apapun." Dave mengenggam tanganku. Memberikan aliran semangat yang tak pernah aku dapati—termasuk dari Rei. Cara Dave memperlakukanku begitu indah. Aku terlena? Entahlah. Aku tak bisa meyakinkan diri soal itu.

"Terima kasih, Dave,"

"Sama-sama, Sayang, kamu jangan murung. Saya bingung kalau lihat kamu sedih,"

"Saya janji sama kamu, di manapun kamu butuh saya. Saya akan ada," sumpahnya. Dia melepaskan kaca mata hitamnya. Menatapku lamat. Tangan kirinya masih mengenggam tanganku. Aku tersenyum. Menyudahi—atau sebenarnya aku memainkan babak baru setelah ini?

***

Aku melihat sekitarku. Semuanya bangunan tinggi-tinggi. Menjulang dengan banyak jendela kaca. Di bawahnya banyak rumah makan, minimarket, laundry. Banyak. Semua serba ada. Aku terus memandangi sekitarku lamat-lamat. Di seberang pandanganku. Ada tempat bermain bulu tangkis lengkap dengan pembatas jaring-jaring dan net, tempat duduk pun ada.

MY FALSE LOVETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang