3 | apa itu kehilangan? [re-publish]

3.2K 132 20
                                    


"Neng, ini cabainya sekilo," Tukang cabai membuyarkan lamunanku

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Neng, ini cabainya sekilo," Tukang cabai membuyarkan lamunanku. Aku tersentak. Mengedip-ngedipkan mata. Menoleh ke kanan. Di sana masih ada Rei yang menyodorkan tangannya. Dasar, anak keras kepala!

"Hei, are you okay?" Rei tersenyum. Manis.

Aku hanya menelan ludah. Menata ulang hati. Menata ulang masa lalu. Menutupnya rapat. Kulihat lagi Rei, haruskah aku biarkan dia masuk dalam hidupku?

Tanganku merogoh tas selempang yang ada di pundakku. Menyerahkan selembar uang lima puluh ribu pada tukang cabai. Dengan sigap tukang cabai itu memberikan uang kembalian. Tanpa menghitungnya aku langsung memasukkan ke tas.

"Makasih ya, Mas." Senyumku mengembang dan aku berlalu pergi—meninggalkan Rei yang masih berdiri bak patung di tempatnya.

Meski kakiku sudah melangkah menjauh, tapi ekor mataku memperhatikan Rei sekilas. Dia mengikutiku lagi—dia berjalan santai di sampingku. Rei kulihat dia tidak membawa apapun. Tidak mencoba berbelanja apapun. Pahlawan kesiangan yang akan mengubah hidupku? Atau malaikat Tuhan? Entahlah atas dasar apa Tuhan menyodorkan makhluk macam Rei di hadapanku. Aku sedari tadi merangkai alasan sendiri. Tanpa menjawab pertanyaan Rei.

"La," panggilnya. Aku sudah mengambil ancang-ancang menghidupkan mesin motor. Mendongak melihat wajahnya yang manis.

"Iya, Rei." jawabku singkat.

"Wah, kemajuan! Kamu nyaut." Rei cengengesan mengacak-acak rambutnya. Aku menancapkan mataku padanya. Tajam.

"Hm, bercanda. Temen?" Rei menawarkan diri untuk kedua kalinya.

"Kalau ketemu lagi, berarti Tuhan nakdirin kita buat teman. Kalau nggak ya berarti kamu bukan temen. Ada saat di mana aku nggak bisa welcome sama semua orang buat jadi temen, Rei. Kamu bakal ngerti nanti." jawabku mengakhiri.

Aku tersenyum. Rei mengembuskan napas. Ada tanda tanya besar di matanya. Tapi, biarlah. Aku menyalakan motorku. Helm sudah terpasang rapi di kepalaku, kutatap sekali lagi Rei yang terpaku.

"Aku pulang duluan, Rei. Makasih udah mau ngalah buat tempat parkirnya." Aku melambaikan tangan padanya. Tersenyum sekali lagi dan langsung melaju. Kulihat perempuan itu tersenyum—meski senyumnya tertahan dan tatapannya aneh.

***

Sudah pukul sembilan lewat empat belas menit. Motor yang kunaiki sudah terparkir rapi di pekarangan rumah. Kutelusuri seisi rumah mencari sosok Umi. Kumandang suara nyanyian bernuansa natal mulai nyaring terdengar. Lima puluh meter dari rumah; hingar bingar nyanyian dan lantunan-lantutan lagu pujian mereka nyanyikan. Sementara pikiranku melayang ke ajakan berteman Rei.

"Eh, Umi ... Kirain di mana, taunya di sini," Badanku langsung bersandar di tiang kayu di sebelah kanan Umi. Pekarangan belakang selalu menjadi tempat favorit kami berdua—dulu bertiga.

Waktu itu,

Umi duduk mengaduk kopi, sedangkan aku dan Abi berlarian di halaman belakang. Menangkap capung. Bunga merekah berwarna-warni, pepohonan tak terlalu tinggi bertumbuh subur karena Abi telaten. Capung, kumbang, kupu-kupu berebut hinggap di bunga yang paling cantik. Ya, dulu. Sebelum semuanya berubah.

Sekarang bunga itu tak seindah dulu, bukan karena ia tak subur lantaran tak ada lagi orang yang selalu bercengkrama bersamaku melihat tumbuhnya bebungaan di taman belakang.

"La," Umi membuyarkan lamunan singkatku.

"Iya, Mi. Ada apa?" Aku melangkah gontai mendekati Umi. Duduk di sebelahnya. Mencari tempat duduk yang nyaman.

"Apa arti kehilangan untuk Aqila?"

Kepalaku menoleh menghadap Umi. Melihatnya dalam. Ada apa gerangan? Tuhan, sudahlah Kau ambil Abi dalam hidupku. Akankah Kau juga renggut kebahagiaan Umi dari hidupnya? batinku. Aku mengatur intonasi agar tak bergetar. Lambat. Aku mulai bersuara.

"Kehilangan itu belajar merelakan, Mi."

"Meski sakit, meski terluka berkali-kali, meski terjerembab ribuan kali kita harus bertahan. Kehilangan akan sembuh kok, Mi. Asal kita rela. Umi rindu sama Abi, ya?" Aku mengeluarkan kata-kata yang sebenarnya aku pun tak tahu pasti. Mata Umi berkaca-kaca. Akan retak sepertinya.

"Sangat, La." Singkat jawaban Umi. Umi menghela napas panjang. Suaranya mulai berat. Sesak. Dan akhirnya, air mata Umi tumpah. Berderai.

"Banyak pertanyaan Umi, La. Tentang kenapa ada perpisahan, kehilangan dan sebagainya. Umi baru tahu apa itu kehilangan setelah Abi pergi, La." Pelan suara Umi tapi begitu menancap ke gendang telingaku. Merasuk, menembus ke setiap sudut hatiku. Aku tahu, baru sadar bahwa Umi begitu terpuruk sekarang.

"Abi pernah bilang sama Aqila, kalau ada saat di mana kita bakal melepaskan sesuatu yang kita sayang. Entah itu karena diambil Tuhan atau diambil orang." Aku berhenti sejenak. Merangkai kata, sambil mengingat kejadian waktu itu.

***

Rumput hijau tumbuh menjulang. Aku duduk bersama Abi.

"Abi, kenapa ya ada yang pergi dan hilang?" tanyaku waktu itu polos. Umurku baru sepuluh tahun, namun mulut kecilku selalu bertanya sesuatu yang entah dipikirkan teman seusiaku juga atau tidak.

Abi mengelus kepalaku. Mencubit gemas pipi gembulku.

"Putri pendongeng Abi, setiap yang bernyawa pasti akan pergi. Entah itu diambil orang atau diambil Tuhan. Semua orang akan merasakan kehilangan, Sayang." kata Abi. Aku hanya mengangguk sok mengerti.

Berarti, intinya adalah segala sesuatu yang aku miliki pada akhirnya akan pergi. Itu pikirku, itu prinsipku, itu yang kutahu sejak umur sepuluh tahun. Aku belajar arti kehilangan dari Abi.

***

Aku kembali menghela napas. Aqila kecil membuatku sadar, betapa dia telah tercipta untuk mengenal arti kehilangan.

"Dan sekarang kita ngerasain yang pertama. Orang yang kita sayang diambil Tuhan, bukan tanpa alasan, Mi. Allah sayang Abi melampaui rasa sayang kita pada Abi." Aku memeluk Umi. Erat. Kubiarkan air mata Umi menetes, merembes lewat celah-celah kerudungku. Aku tahu, kalimat panjang tak akan dibutuhkan sekarang. Yang Umi butuh hanya sandaran atas letihnya.

Umi mematung setelahnya, dan sejurus kemudian Umi bangkit. Masuk ke dalam rumah, aku mengikuti dari belakang.

"La," Umi berhenti mendadak—otomatis aku pun berhenti.

"Iya, Mi," jawabku lembut.

"Tetap jadi Aqila kecil yang mandiri untuk Umi, ya." Untuk kedua kalinya, bibir Umi melontarkan kata-kata itu. Aku mengangguk mantap. Demi melihat senyumnya melengkung, aku memeluk Umi sekali lagi.

Kaki kami melangkah bersama. Terpecah menjadi dua bagian di bibir pintu.

MY FALSE LOVETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang