4 | sekarang, dia temanku [re-publish]

2.7K 111 18
                                    


Pukul satu kurang lima belas menit

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Pukul satu kurang lima belas menit. Langkahku terhenti tepat di ujung jalan. Sudah sekitar satu jam aku berada di masjid berkumpul dengan ibu-ibu. Umi tidak ikut, beliau sibuk berkutat dengan pikirannya. Umi jarang seperti ini, tapi selalu ada masa di mana Umi diam meresapi kesendiriannya lalu kemudian bangkit menjadi wanita yang lebih tangguh. Wanita setangguh Umi ternyata mampu terkalahkan oleh satu hal; kerinduan.

Terik matahari menyengat. Angkutan umum belum juga datang. Jalanan padat merayap, berbeda dengan suasana lebaran yang biasanya sepi. Ketika natal jalur ke rumahku mendadak ramai. Sumpek.

Lima belas menit berlalu. Tepat ketika embusan napas kasarku. Angkutan umum lewat.

"Simpang Jam, Om?" teriakku menunduk ke arah supir.

"Ya, naik Neng," jawab supir itu mempersilakan. Hanya ada beberapa kepala di sana. Ibu-ibu berbadan gempal, tukang terompet yang sepertinya laris manis-karena dekat dengan tahun baru-juga bapak-bapak bertubuh kurus berbaju batik kedodoran.

Aku duduk di belakang paling pojok. Kupandangi ruas jalan. Sekali lagi, pikiranku terbang.

***

Kala daun masih lembab bersama embunnya, pagiku sudah tersadar oleh kehadiran Abi. Tangan Abi tiba-tiba mendarat di kepalaku sebentar.

"Hayo, tadi salat subuh nggak?" Abi menggelitiki kakiku. Aku mengkerjap-kerjap berusaha menyadarkan diri. Mataku masih ngantuk, tapi Abi sudah membangunkanku.

"Udah Abi, tadi abis salat Ila tidur lagi hehe, ngantuk." Aku menguap sekali lagi. Memandang wajah Abi yang masih samar kulihat.

"Aduh. Anak Abi yang satu ini ada saja alasannya. Ayo bangun, gimana Aqila mau jadi pendongeng kalau jam segini aja masih tidur-tiduran di kamar. Tuh, keduluan sama ayam." Abi ngoceh panjang lebar. Aku merengut.

"Putri pendongeng itu mesti banyak tidur, Bi. Biar dapet inspirasi dari mimpinya." Aku membela diri sambil beranjak duduk. Berkoar-koar. Semangat.

Abi melihatku sambil tersenyum. Abi mendekatkan wajahnya ke badanku.

"Coba ceritakan pada Abi, Putri Pendongeng Abi tadi mimpi apa?" Abi mematahkan alasanku. Aku menggaruk-garuk kepala. Mengingat-ingat.

"Lupa, Bi. Hehehe." kataku akhirnya. Abi sontak tertawa melihat ekpresi super oonku. Tertawa cekikikan macam tak berdosa.

"Sudah sudah, mandi sana." Abi menyuruhku. Aku hanya mengangguk pelan.

Abi, kelak Aqila yang ada di hadapanmu ini. Akan menjadi pendongeng dan menebar cinta di setiap dongengnya. Aqila janji, Bi. Celotehku sepanjang perjalanan menuju kamar mandi. Pelan menuruni anak tangga.

Brukk!!!

Lamunanku terhenti bersamaan dengan angkutan umum yang berhenti mendadak di persimpangan jalan. Supir mendadak menatap spion. Ibu-ibu berbandan gempal tadi hampir terpelanting mendadak. Penjual terompet mendadak merosot dari tempatnya. Semua serba mendadak sampai akhirnya supir turun dari tempat kemudinya.

MY FALSE LOVETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang