2 | sembilan koma empat [re-publish]

4.5K 192 26
                                    


Rambut lurusku terbang terembus angin

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Rambut lurusku terbang terembus angin. Berantakan. Pagi ini aku bangun agak terlambat. Kesiangan. Aku tak sempat merapikan rambut. Berlari-lari kecil di lorong sekolah, sesekali berhenti mengambil napas. Hari ini penentuan.

Empat orang sahabatku Rindu, Sheila, Wanda dan Lisa sudah anteng di posisinya masing-masing. Aku duduk dengan Sheila, gadis berambut sebahu dengan behel transparan terpasang di giginya.

"Tumben lama?" Wanda menoleh ke belakang.

"Kesiangan." Singkat betul jawabanku. Wanda langsung menghadap depan, sok asik dengan gadgetnya. Sedangkan Sheila, memainkan pena di meja. Hingga terdengar bunyi pletak pletuk berirama.

Rindu beda lagi, dia sibuk dengan rambut ikalnya. Berwarna keemasan. Kemilau.

"Lis, kamu kok santai begitu?" tanyaku sembari menyisir rambut dengan kesepuluh jariku. Sialnya, nyangkut.

"Terus mesti ngapain? Nunggu hasil ujian tuh kayak nunggu jodoh. Lama! Jadi santai aja, nggak usah ribet." Tangannya membuka permen tangkai. Bibir tipisnya melumat. Aku mengangguk. Benar ilustrasinya.

Ujian telah berakhir, semua bisa aku kerjakan dengan baik. Tinggal menunggu hasil. Semua siswa semester akhir di sekolahku berkumpul.

Wush... Macam wadah lebah. Bising. Berebut bicara. Semua ingin didengar. Krasak krusuk siswa, guru junior sampai guru senior juga ikut-ikutan sibuk menenangkan siswa. Butuh waktu lima belas menit, lebah-lebah seperti kami akhirnya diam. Sunyi.

"Selamat pagi anak-anak." Kepala sekolah kami memulai.

"Semangat pagi, Pak!!" jawaban seantero sekolah serempak. Menggelegar.

"Tak terasa sudah tiga tahun kita bersama. Kenangan bersama kalian adalah bahagia Bapak. Bapak harap...." Suara kepala sekolah kami mengudara. Aku hanya mendengar sayup-sayup. Pikiranku tak tenang. Hasil ujian yang seperti apa yang akan aku berikan pada Abi? Tanganku mengepal. Meremas tangan Lisa yang anteng di sebelahku.

"Apaan sih La, biasa aja." Lisa memegang daguku.

"Pucet banget. Biasa aja dong. Ini bukan pemilihan Putri Indonesia. Please slow down, Baby," Tangannya mengguncangkan tubuhku.

"Kamu tahu kan, Lis. Nilai ini berarti banget buat aku. Terlebih kalau nilai Bahasaku bagus, ini jadi titik awal buat masuk redaksi majalah anak-anak. Well, ini mungkin mimpi standar tapi aku pingin bikin anak-anak bahagia dengan apa yang aku tulis," jelasku menggebu. Lisa hanya melongo mendengar penjelasanku. Terdiam. Berkedip-kedip.

"Yes, Baby, tapi seharusnya kamu nggak sepanik ini. Aku tahu kamu bisa...." Lisa belum lagi selesai melanjutkan kalimat menenangkan lainnya. Guru di depan panggung sudah mulai membagikan amplop perkelas.

Sepuluh menit tak sampai, semua siswa kelas tiga memegang ampop itu di tangan. Termasuk aku. Menimbang-nimbang isi yang ada di dalam amplop dengan perasaan kalut. Sesekali melirik ke arah Lisa, Wanda, Sheila juga Rindu.

MY FALSE LOVETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang