Langkahku akan mendekati sebuah tanaman herbal yang biasanya ayah gunakan untuk meracik obat, kuputuskan untuk meraciknya sendiri dan memberikannya pada orang tuaku sebelum sebuah suara menghentikan gerakanku. Mataku membulat seketika saat geraman itu kian bertambah keras. Dengan bodohnya, aku masih tetap berdiri tanpa berusaha melakukan apapun kala kutahu tiga ekor serigala dengan bulu-bulu lebat berwarna hitam juga gigi taring penuh darah itu siap menerkamku hidup-hidup.

Detik selanjutnya, kulangkahkan kakiku sekencang mungkin menembus hutan dengan harapan agar keinginan kedua orang tuaku bisa berakhir menjadi nyata. 'Untuk menyelamatkan hidupku." Tak terasa mawar merah kugenggam semakin erat dalam tanganku. Namun aneh, ketiga serigala itu tidak lagi mengejarku. Mereka berhenti tepat didepan kedua jasad orang tuaku mengendus-endus bau darah dan mengabaikanku. Aku bersyukur dengan kejadian itu. Bahkan disaat terakhir walau kematian telah datang menjemput keduanya, orang tuaku masih bisa menolong dan menyelamatkan hidupku.

Dan disinilah aku, berakhir duduk sendirian ditengah padang rumput dengan langit yang menyiratkan warna jingganya. Aku tak tahu waktu menunjukkan pukul berapa, namun yang kutahu, malam akan segera tiba. Tak kusadari air mata menetes dari kedua kelopak mataku. Merembes membasahi wajahku yang berkeringat. Pedih juga sakit kurasakan atas kepergian kedua orang tuaku. Barulah aku bisa menumpahkan segala rasa kosong dan gelisahku saat sendirian seperti ini. Rasa sesak dan sakitnya bahkan terasa sangat dalam.

"Hai."

Kualihkan pandanganku dari hijaunya rumput yang sedang kududuki ini menatap seorang anak lelaki bersurai hitam memilik mata segelap malam yang bersuara dengan suara serta pandangan tajam yang ia miliki memecah lamunanku dalam sekejap.

Tubuhku masih senantiasa bergetar dengan suara tangis samar yang keluar dari mulutku. Aku tak bisa menghentikan tangisanku begitu saja. Rasa sesak itu masih terasa mengganjal dalam hatiku. Pandanganku tetap terkunci pada anak lelaki yang anehnya saat ini menunjukkan ekspresi marahnya padaku. Ada apa ini? Apa aku telah berbuat salah? Kenapa ia marah padaku? Beribu pertanyaan berseliweran dalam otakku. Ditatap sedemikian rupa, membuatku salah tingkah. Sehingga secara perlahan ingatan pedihku atas kematian kedua orangtuaku memudar. Tergantikan dengan pemikiran mengenai sosok didepanku ini yang mengepalkan tangannya. Tapi tangisanku samar masih tetap terdengar.

"Jangan menangis."

Ucapan berikutnya membuatku tercenung untuk beberapa saat. Apa ia mengkhawatirkanku? Perlahan namun pasti, tangisanku mulai memudar. Kutatap sekali lagi sosok lelaki itu. Ia mulai tersenyum, menampilkan aura lembut memikat hati. Seakan terhipnotis, akupun tersenyum tulus. Kini ia berjalan mendekat dengan tangan yang terulur kearahku. Kusambut uluran tangan itu, kami berdua berdiri tegak. Ia seakan berusaha untuk membuatku melupakan kesedihanku dengan mengaitkan tangan kami. Senyuman penuhku kutunjukkan padanya. Sebagai tanda terima kasih karena atas kehadirannya, aku tak lagi sendirian. Tak lagi sendiri menghadapi kenyataan pahit yang ada.

Detik itupun aku tahu satu hal dari tatapan lembut namun mengintimidasi darinya, bahwa kami akan selalu terhubung. Bahwa hubungan ini tak bisa berhenti hanya disini saja.

Kami, aku dan dirinya, pasti dihubungkan melalui sebuah takdir yang sudah Tuhan gariskan.

~~~~

Ia masih menggenggam tanganku, namun bedanya kami berjalan beriringan masih dengan senyuman menghias wajah. Lalu ia bersuara, "siapa namamu?"awal pertemuan ini memanglah sangat singkat, namun yang kutahu ia adalah lelaki yang tak banyak bersuara, kaku, namun terkesan lambut. Kata-kata yang keluar dari mulutnya selalu singkat, padat dan jelas. Formal, tak seperti anak-anak sebaya kami pada umumnya.

"Aleyna Mar, ehm, Mery. Namaku Aleyna Mery."
Aku ingat pesan kedua orang tuaku setiap harinya, jangan pernah memperkenalkan nama aslimu pada siapapun. Karena kita tidak akan tahu, orang itu baik ataukah jahat. Bisa saja ia mencelakai kita hanya dari pengetahuan mereka berdasarkan nama. Dan kulakukan hal itu saat ini. Aku yakin walaupun lelaki ini adalah sosok yang baik, namun pesan kedua orang tuaku akan tetap selalu kujaga.

"Cantik, namamu." Pipiku merona merah, malu dengan pujiannya atas nama setengah palsuku. Sedikit merasa bersalah karena telah membohonginya. Namun semua itu terenyahkan saat ia mulai bersuara lagi, "lupakan kesedihanmu, aku ada bersamamu." Kata itu mempunyai banyak arti yang luas. Namun bagi gadis kecil berusia 12 Tahun, hanya perasaan aman dan bahagia yang ia rasakan. Ia seperti menemukan kehidupan baru bagi hidupnya yang telah rusak dan koyah.

"Kalau kamu, namamu siapa?" Dengan sedikit nyali, kuberanikan untuk mengutarakan perasaan ingin tahuku terhadap dirinya.

"Ashton Moudrika." Nama yang sangat, mengagumkan. Namun tentu saja aku tak berani mengutarakan kata hatiku itu begitu saja.

Bukannya memuji atau mengomentari mengenai namanya, aku justru mengalihkan perhatiannya pada hal lain. Tak kuasa menahan rasa yang membuncah bahagia lebih lama lagi.

"Jadi, Ash. Kita mau main apa?"

~~~~

Waktu terasa sangat cepat berlalu kala Ashton selalu berada disampingku. Menemaniku dalam keterpurukan atas meninggalnya kedua orang tuaku. Mungkin terkesan menyedihkan, sebuah fakta bahwa aku tidak mengkhawatirkan jasad kedua orangtuaku. Namun apa daya, aku hanyalah gadis kecil berusia 12 tahun kala itu. Tak tahu harus berbuat apa. Pesan mendiang orang tuaku mengisyaratkan diriku untuk menjaga hidupku. Dan inilah yang kulakukan sekarang.

Bersama Ashton, aku merasa aman.

Aku sedang bermain susun-menyusun batu tepat dipinggir sungai bersama Ashton, kala kudengar suara derap langkah terburu-buru datang dari arah depan. Kutaksir, lebih dari 5 orang sedang menuju kemari. Kulihat Ashton kecil sama terkejutnya dengan diriku. Ia memandang orang-orang berpakaian baja hitam itu dengan pandangan skeptis. Mereka lantas berdiri dan berbaris rapi tepat didepan diriku dan Ashton yang teruduk diatas tanah yang basah. Lelaki itu, terlihat tak ada rasa takut sama sekali didalam matanya. Justru aku yang saat ini meringkuk takut bersembunyi dibelakang punggungnya. Ada lebih dari 20 orang lelaki atau bisa kukatakan prajurit berpakaian lengkap juga sebuah senapan berlaras panjang dimasing-masing tangannya.

Pandanganku berubah semakin takut kala salah seorang prajurit itu maju semakin mendekat. Lantas ia berkata sesuatu seperti 'keadaan genting, anda harus segera kembali ke istana.' entahlah, hanya kalimat itu yang dapat kutangkap dari perkataannya. Tentu saja ia berbicara pada Ashton yang hanya diam tanpa bergerak seincipun. Ia merenung sejenak seakan menimbang sesuatu. Lama dan masih tak ada jawaban. Malah tangan kanannya yang kini menggenggam tanganku erat seakan memberi kekuatan padaku melalui tangan yang saling menggenggam ini.

"Aku akan segera kembali, tolong, temui aku disini besok pagi. Dan, ehm, maaf." setelahnya ia bangkit berdiri dan berlari diikuti segerombolan prajurit dibelakangnya. Meninggalkan diriku yang masih terdiam tergugu dengan perasaan takut dan bimbang memenuhi seluruh tubuhku.

Tak kuasa menahan sesak didada, kulampiaskan dengan tangisan. Hanya tangis yang bisa kulakukan untuk saat ini. Dalam hati aku ingin berkata, "tidak, kumohon. Jangan pergi?!" namun lagi-lagi suaraku hanya keluar sampai tenggorokan tanpa bisa tersampaikan.

"Jangan tinggalkan aku sendiri..."

"Kumohon..."

~~~~

Jangan lupa berikan bintang tepat di bagian pojok kiri bawah ya, guys. Oh ya, jika kalian suka dan terhibur dengan cerita ini, berikan sepatah dua patah kata sebagai apresiasi untuk Grace yaa 😊

Find me on ig : sarahrmdhnia34

Nice to meet Ashton and Aleyna, again?! 🙌

And

welcome

back

to

This

Story!

Salam Grace?!

[MWS:1] A Werewolf Boy (New Version) Where stories live. Discover now