"Ka..." Gue melepaskan komik tersebut, menaruhnya di dashboard mobil. "Gue nggak marah, Ka. Gue cuma-"

"Maaf kak..." Isaknya. "Jangan marah lagi..."

"Gue nggak marah, Ka." Senyum gue, yang akhirnya nggak tahan melihat kepolosannya. "Gue cuma... Takut lo kenapa napa aja. Ya? Gue nggak marah kok."

Tangisnya berhenti, membuatnya kali ini menatap gue.

"Tapi bukan berarti gue nggak marah gue bakal ngebiarin lo kayak tadi lagi, ya." Sergah gue, secepat mungkin mengganti bajunya, menggantinya dengan winter coat gue. Karena kalau nggak gitu, bisa aja dia masuk angin.

Kaka mengangguk, sekarang cemberut di wajahnya berubah menjadi senyuman kecil, membuat gue otomatis ikut tersenyum juga.

Jadi gini rasanya jadi kakak...

"Sampai rumah diem ya? Gue banyak tugas, jangan diganggu." Ujar gue, mulai menjalankan mobil keluar dari basement. Dan perkataan gue barusan, akhirnya mendapat anggukan serta combo bersin tujuh kali darinya.

"Dingin, ka?"

Manusia kecil disamping gue menggeleng, sambil kali ini mengambil komik yang gue letakkan di dashboard mobil tadi.

"Dipinjemin sama michael?" Tanya gue, yang digelenginya.

"Dikasih, buat aku katanya." Jawabnya singkat, yang tumben, jujur aja. Iya, gue baru kenal deket dua hari aja udah paham gimana sifatnya, saking bawelnya dia.

"Oh." Gumam gue. "Bagus, dong?"

Ia mengangguk.
"Basah komiknya, kak..."

"Nanti kita keringin di rumah, ya." gue memutar kemudi ke kanan. "Udah bilang makasih belum?"

"Udah" ia mengangguk. "Kak, nanti kalau kakak ketemu dia lagi, tolong pinjemin komik lagi ya, kak"

"Minjem mulu." cibir gue. "Minjem punya calum aja, lagi. Dia kan satu kamar komik semua isinya."

Iya, kalo ada di kamar dia, gue berasa balik lagi jadi anak SMP, saking nggak adanya buku kuliahan di kamar dia, melainkan isinya komik semua.

"Nanti aku dimarahin, nggak mau." gelengnya. "Tapi sekarang aku jadi punya komik sendiri, deh."

Ia tersenyum lebar, menatap komik basah pemberian michael di tangannya. Yang jujur, pemandangan ini langka buat gue. Secara, gue bukan 'kakak', yang nggak pernah punya adek, dan tentu nggak pernah melihat pemandangan macam begini.

"Tenang aja, nanti kalau lo ulangtahun, gue beliin komik juga. Kita kalahin koleksi komiknya calum!" Seru gue, yang nggak tau kenapa malah lebih semangat gue dibanding dia. "Oke?!"

Kaka mengangguk cepat.
"Harus, kak!"

"Tos dulu, dong!" Gue mengadahkan tangan gue, yang dengan cepat ditepuknya.

"Mantap!" Senyum gue lebar, kali ini menginjak gas, menambah kecepatan laju mobil, membuahkan teriakan canda dari Kaka, yang ikut membuat gue tertawa.

Enak ya, jadi kakak.

-

"Hatchi!"

"Bersin terus Ka, nggak enak badan?" Cemas gue. Gimana nggak cemas? Ini udah kesekian kalinya ia bersin. Dan kalau biasanya fokus belajar gue keganggu lantaran dia banyak nanya atau kepala gue sakit, sekarang gue jadi nggak fokus lantaran sejak tadi bersinnya nggak berhenti.

Ia menggeleng, lalu kembali memakan makanan yang udah gue buatkan untuknya. Bedanya, kali ini makannya terlihat lebih ogah ogahan.

"Nggak abis ya, kak..." ia menggeser piring makanannya ke hadapan gue. "Kenyang..."

Kakak • lrhحيث تعيش القصص. اكتشف الآن