Jimin melepasku dan memegang kedua pipiku. Sorot matanya sayu dan lelah. Terdapat lingkaran hitam di bawah matanya. Jimin mendesah kecil. Mencium keningku dan berakhir pada kedua mataku yang ia tatap begitu lekat, dalam. Di angkatnya tanganku yang terluka. Jimin seperti hendak menangis namun ia menahan itu.

"Maafkan aku. Seharusnya aku langsung kesini. Seharusnya aku tidak melakukan itu disaat kau benar-benar butuh diriku. Jeongmal mianhae."suara seraknya mengintrupsiku lebih jauh. Jimin merunduk. Tatapannya begitu sayu dan lelah. Sama sepertiku. Ku tarik lengannya dan mendudukkannya di atas sofa. Jimin sempat melengos. Tapi diurungkannya niat itu, saat aku memeluk erat tubuhnya. Awalnya Jimin hanya diam. Tapi lama kelamaan dia membalas pelukanku jauh lebih erat.

"Maafkan aku Jim, seharusnya aku lebih peka pada perasaanmu. Seharusnya aku tidak egois. Memikirkan perasaanku sendiri dan mencoba kembali padanya, padahal ada kau yang mencintaiku. Aku sungguh, minta maaf padamu."bisa kurasakan Jimin menganggukkan kepala. Dia menarik tubuhnya. Menangkup wajahku dengan kedua tangan mungilnya. Senyum itu terlukis indah. Membuat kedua matanya yang sipit semakin menyipit. Lucu.

Desahan nafasnya menyapu kulitku. "Kenapa tidak seperti ini sejak dulu? Kita bisa menghabiskan banyak waktu bersama kalau kau mau membuka hatimu sedikit saja untukku."aku meringis. Yang Jimin katakan memang benar. Kalau saja dulu aku mau mencoba. Mungkin kejadiannya tidak akan seperti ini.

Jauh -jauh hari yang lalu, aku mungkin sudah menjadi wanita paling bahagia di dunia ini. Memiliki kekasih mapan, tampan, dan tulus seperti Park Jimin adalah impian semua wanita. Bukan begitu?

"Jadi.., sekarang kau milikku?"tanyanya ragu. Aku tertawa. Mencubit pipi tembemnya gemas seraya menciumnya lembut. Kedua pipinya merona merah, semakin membuatku gemas dan tidak kontrol.

Aku berdehem kecil. Menaiki paha Jimin dan duduk di atasnya. Jimin tersentak. Semakin gugup dan salah tingkah. Sepertiku. Ku coba mengusap lembut rambutnya dan mendekatkan wajahku di telinga kirinya yang mulai memerah. Hampir saja aku terbahak karena itu. "Tentu saja Aku milikmu."

....

"Kalian gila! Kalian pikir aku ini apa? Barang pinjaman? Yang benar saja bi*ch! Aku tidak mau!"

Ku hela napas panjang. Kepalaku tak henti-hentinya berdenyut. Mataku benar-benar lelah. Pikiranku capek. Aku ingin tidur.

Tapi suara Chae Young terasa menggema di telingaku. Jin berusaha menenangkannya dengan cara menjelaskan baik-baik. Sedangkan aku hanya duduk diam. Memandang lurus kedepan. Entah apa yang ku lihat saat ini.

"Chae Young-ah,-"

"Jin, kumohon, kau tahu ini rencana gila yang pernah ada. Kita baru saja kembali. Apa kau ingin dia merusak itu?"Serunya sambil menunjuk ke arahku. Aku hanya melempar pandangan lesu dan malas. Jin mendesah. Mencengkram kedua pundak Chae Young, membuat gadis itu mau tidak mau menatap langsung kekasihnya.

"Arra. Aku tahu. Aku juga tidak mau begini. Tapi, aku juga kasihan dengan mereka. Lagipula, ini hanya pura-pura. Aku berjanji tidak akan putuskan hubungan ini. Kau tahu, aku juga mencintaimu. Gila rasanya jika itu terjadi. Hanya seminggu. Kita bisa melakukannya. Ini tidak lama, sayang."

Chae Young menutup wajah dengan kedua tangan. Dia menjerti frustasi dan menangis bersamaan. Jin memeluknya. Menepuk punggung Chae Young lembut seolah dengan begitu tangisannya bisa mereda. Walaupun memang begitu kenyataannya.

STIGMA  Where stories live. Discover now