"Jangan bayar makanan saya," sahut Kian cepat. "Bill-nya dipisah saja."

"Kenapa? Kan saya yang mengajak kamu ke sini?" tanya Ares bingung.

"Saya nggak mau punya hutang lagi sama kamu."

"Kamu nggak hutang, kok."

"Jangan."

"Kamu ganti traktir saya minggu depan kalau begitu. Hari ini biar saya yang bayar," putus Ares. Ia melangkah pergi.

Lagi-lagi Kian hanya bisa pasrah dihadapan dokter-seenaknya-sendiri itu. Kampretos.

***

Hari Sabtu pagi, Ares sudah parkir dengan manis di pinggir jalan. Tepatnya di depan kontrakan Kian.

Baru saja ia mengabari Kian kalau ia sudah sampai. Beberapa saat kemudian, Kian keluar. Paduan celana jeans, running shoes, dan kemejanya benar-benar enak dilihat. Selama ini Ares hanya melihat Kian dengan pakaian formalnya saja. Tidak pernah casual seperti ini.

Kian masuk ke kursi penumpang bagian depan. Satu-satunya bagian yang tersisa karena kursi belakang sudah penuh dengan hadiah yang mereka beli kemarin, obat, dan perlengkapan kesehatan.

Ares menjalankan mobilnya. Untuk memecah keheningan yang selalu muncul diantara mereka berdua, Kian memilih untuk memutar lagu.

"Boleh saya putar musik saja?"

Ares membalasnya dengan anggukan. Melirik Kian sebentar, kemudian fokus lagi ke jalanan.

Perlahan mengalun lagu milik N'sync. Kian mengetuk-ngetukan jarinya ke paha.

"Selera kamu jadul."

Kian menoleh. "Oldies."

Sanggahan Kian membuat Ares berdecak. "Sama saja."

Kian hanya tertawa. Ia kemudian lanjut menepuk-nepuk pahanya sesuai tempo lagu. Bernyanyi lirih, bahkan kadang tanpa suara.

Hampir dua jam perjalanan, Ares akhirnya sampai di depan sebuah rumah kecil. Dibelakangnya terdapat rumah yang terbuat dari kayu. Ares turun dari mobilnya. Meninggalkan Kian di mobil karena Ares bingung bagaimana harus membangunkan Kian.

Dibukanya pintu kaca depan rumah tersebut. Terdapat banner yayasan yang memperlihatkan foto potrait anak-anak yayasan di sebelah kanan dan kiri. Seorang wanita berjilbab merah sedang duduk dibalik meja, entah mengerjakan apa. Wanita itu mendongak untuk melihat orang datang ke yayasan mereka.

"Ada yang... Lho? Dokter Ares?" wanita yang memiliki papan nama bertuliskan 'kak Dinda' itu terpekik. Ia buru-buru berdiri untuk menyalami Ares.

"Gimana kabarnya, Din?" tanya Ares, membuat Dinda tersipu. Sudah sejak lama sekali Dinda ngefans pada Ares. Ares juga yang membuatnya ikut bergabung pada yayasan ini.

"Baik, dok. Langsung masuk saja. Mas Kevin lagi di aula sama anak-anak. Yang lain juga ada," balas Dinda ceria.

"Saya mau ketemu kevin dulu." Kemudian Ares teringat meninggalkan Kian di mobil. "Ehm, Din, saya mau minta tolong."

"Apa, dok?"

"Itu di mobil ada teman saya lagi tidur. Kalau dia bangun, ajak masuk dulu." Ares menunjuk mobilnya.

"Siap, dok."

Ares kemudian berjalan pergi untuk menemui Kevin di aula. Ruangan kecil yang berukuran paling luas diantara yang lain dan paling ramai di hari minggu siang. Tapi kalau hari lain, semua akan sibuk di kelas masing-masing. Tapi Sabtu ini khusus, karena ada pengobatan gratis yang akan Ares adakan.

Ketukan pintu membuat Kevin menoleh. Acaranya bermain bersama beberapa anak-anak yayasan ia hentikan sejenak. Ia beranjak menemui Ares sambil tersenyum lebar. Hampir tiga tahun ia tidak bertemu dengan sahabatnya itu, salah satu pendiri yayasan 'Ayo Sekolah'.

"Apa kabar, lo?" Kevin bersalaman dan memeluk Ares singkat.

"Lo nggak makan selama gue tinggal?" tanya Ares melihat Kevin terlihat lebih kurus dari yang terakhir dia lihat.

"Sialan, lo. Eh, lo dateng ke nikahan Yudis sama Mahira kan? Kenapa kita nggak ketemu?"

Ares hanya tersenyum kecut. Lidahnya juga rasanya kecut mau menjawab.

"Gue pulang duluan, emang." Ares tertawa. Menertawai dirinya sendiri.

Dari kejauhan, Kian turun dari mobil sambil bersungut-sungut. Kenapa dia ditinggal? Tapi Kian yakin ia tidak ngiler, ngorok, dan kentut. Ares tidak meninggalkannya karena jijik, kan?

"Mbak? Temennya Dokter Ares?" Mendengar suara pintu mobil tertutup, Dinda membuka pintu untuk menyapa teman Ares. Sedikit sakit hati sih ketika melihat teman Ares adalah seorang wanita, tapi siapalah dia hingga bisa mengatur pertemanan Ares.

"Ya?" sahut Kian terkejut melihat wanita berjilbab. Tatapannya ramah dan teduh. Kian kemudian mengangguk saja, menghampiri wanita itu.

"Kenalkan mbak, saya Dinda."

"Nama saya Kian." Kian balas tersenyum tak kalah ramahnya.

"Masuk, mbak. Dokter Ares masih ngobrol sama mas Kevin. Briefing pagi sebentar lagi juga dimulai," jelas Dinda. Ia kemudian mengajak Kian untuk menunggu di ruangan yang biasa digunakan pengurus untuk bekerja, rapat, dan istirahat. Multifungsi saja. Semuanya harus digunakan dengan efektif di sini.

Ada tiga orang lain di dalam. Pengajar yang lain baru akan datang siang nanti, saat jam mengajar tiba. Kian berkenalan dengan yang lain, beramah-tamah.

Tak lama, Ares datang bersama Kevin. Setelah perkenalan singkat Ares kepada pengurus yayasan baru, Kevin langsung memulai briefing pagi mereka.

Kian memperhatikan dalam diam. Diam-diam, tapi ia senang. Sudah lama ia menantikan hal-hal seperti ini. Tapi belum memiliki kesempatan yang pas. Ia tidak menyangka saat-saat seperti ini benar-benar datang untuknya.

Ares melirik Kian. Not bad. Sejauh ini Ares belum bisa menentukan, apakah Kian tipe wanita yang melakukan kegiatan seperti ini demi pencitraan, atau memang tulus seperti Mahira.

Mahira lagi. Kecut.

***

ily

Inevitable DestinyWhere stories live. Discover now