Bagian 9

2.7K 395 76
                                    


Chanyeol duduk termenung di kursi beranda kamar, pikirannya semrawut, membayangkan hal-hal pahit yang mungkin akan terjadi padanya, tiap kali dia mengingat Jisoo dan Sehun di rumah Edmund tempo hari. Sejak hari itu Chanyeol menjadi menutup diri, dia jarang bicara dan menjaga jarak pada Jisoo. Chanyeol tahu dia semakin menyakiti dirinya sendiri dengan mengabaikan Jisoo, dadanya sesak tiap kali dia menahan diri untuk tidak memeluk Jisoo barang sebentar.

Selama masa itu Jisoo merasa tidak tenang, dia ketakutan karena Chanyeol mengabaikannya. Perutnya sering sakit, dia ingin sekali Chanyeol memeluknya dan mengusap perutnya. Jisoo tidak tahan lagi, dua minggu diabaikan Chanyeol membuatnya nyaris gila. Jisoo menyeka air mata yang meleleh di pipi tanpa pernah dia menyadarinya, dia berdiri di belakang Chanyeol, memandang punggung pria itu yang ingin sekali direngkuhnya.

"Arrgghhh."

Jisoo merintih, bayinya menendang kuat sekali, bergerak, menohok ulu hati. Chanyeol yang sadar ada seseorang di balik punggung menoleh, terkejut, dan buru-buru menghampiri Jisoo.

"Ryu, perutmu sakit?"

Jisoo hanya mengangguk, Chanyeol ingin memapahnya ke kamar tapi Jisoo bersikeras ingin duduk di beranda. Sore itu langit sangat cantik, jingga sudah mencemari langit, seperti tinta yang tumpah, berserakan tapi menawan.

Chanyeol mengusap perut Jisoo tapi dia tidak memandangnya, Jisoo sesak, dia menggenggam tangan Chanyeol yang ada di atas perutnya.

"Jangan mengabaikanku." tetesan bening meluncur di pipi Jisoo yang berpendar kemerahan di bawah sorotan jingga, Chanyeol tercenung, Jisoo menarik bahunya, memeluknya erat.

"Kau boleh marah padaku tapi tolong jangan mengabaikanku, aku bisa mati."

Jisoo tersedu sedan, dia tidak tahu lagi apa yang harus dia lakukan agar Chanyeol kembali seperti semula. Jisoo tidak tahu apa yang terjadi pada dirinya, yang jelas dia menjadi tidak waras karena Chanyeol mengabaikannya.

"Aku tidak melakukan apapun, Chanyeol. Dia hanya menanyakan kabar, lalu perutku sakit dan kau datang. Bila memang itu yang mengganggumu, kalau bukan, tolong jelaskan apa kesalahanku."

Chanyeol melepaskan pelukan Jisoo, dia mengusap air mata yang masih mengalir di pipi pucat Jisoo. Chanyeol menyesal, dia tidak menyangka Jisoo akan sesedih ini karena sikapnya yang kekanakan.

"Maafkan aku." Chanyeol meraih jemari Jisoo lalu menciumnya, dia menarik bahu Jisoo dan menyandarkan wanita itu di dadanya. Menghujani puncak kepala Jisoo dengan kecupan hangat dan kata maaf.

"Kau boleh memarahiku,"

"Aku tidak marah padamu, Ryu Ji."

"Aku benar-benar tidak melakukan apa...,"

"Aku percaya padamu, aku selalu percaya padamu. Aku hanya----sedikit cemas."

"Aku tidak akan pergi ke manapun, Chanyeol. Aku akan selalu di tempatku, kecuali kau yang menginginkan aku untuk pergi."

Jisoo mendongak, air matanya kembali meleleh. Pandangan mereka bertemu, Jisoo menelusuri manik abu-abu Chanyeol dalam rasa samar yang belum terbaca. Ada luapan rasa sayang yang begitu tulus berpendar dari sana, Jisoo bisa merasakannya. Dia tahu seberapa besar rasa yang Chanyeol sematkan untuk dirinya dan bayi yang dia kandung, dia tahu Chanyeol memberi rasa itu tanpa pamrih. Meski Jisoo tahu hatinya bukan untuk Chanyeol, tapi dia tidak bisa membayangkan hidupnya akan seperti apa tanpa sosok seorang Park Chanyeol.

"Aku tidak akan membiarkanmu pergi, Ryu. Apapun alasannya."

Jisoo memejam ketika Chanyeol mengusap perutnya lalu mengecup bibirnya, hangat, lembut. Tanpa sadar tangan Jisoo mengalung di leher Chanyeol, menikmati kecupan dan usapan Chanyeol yang membuat pipinya semerah pomegranate. Jingga semakin mewah di kaki langit, merah keemasan, sapuan angin sore menyapa tautan bibir mereka yang tak mau berhenti. Hingga Jisoo merasa bayinya menendang, dia merintih, rangkulannya terlepas.

After TwilightWhere stories live. Discover now