Bagian 7

2.9K 411 73
                                    



Salju tumpah dari langit Seoul, siluman putih datang mengancam, membekukan susunan tulang. Jalanan kota penuh dengan setelan baju hangat, lengkap dengan syal, topi wol dan sarung tangan. Pohon sansuyu seperti diselimuti kapas, tertunduk-tunduk, penghangat ruangan bekerja seharian. Jisoo berdiri ditepi jendela, uap putih menguar ketika dia bernapas. Gadis itu sudah cantik dalam balutan gaun pengantin putih model kemben yang melekat pas di tubuhnya, sebukat mawar merah juga telah berada di dalam genggaman. Wajah Jisoo tanpa ekspresi, kosong, seolah-olah jiwanya telah pergi meninggalkan raga. Satu jam lagi acara pernikahannya dengan Chanyeol akan digelar.

Tangan pucat Jisoo bergerak di atas kaca ruangan yang berembun, pikirannya sudah melesat cepat, menembus kaca lalu hilang di ujung jalan yang putih, di suatu tempat yang hangat, tempat dia berinteraksi dengan Sehun dalam lingkup yang lebih dekat. Jisoo masih ingat tentang hari itu, hari dimana mereka berjabat tangan sebagai atasan dan bawahan, awal dari terjalinnya hubungan dengan bumbu cinta terlarang yang tumbuh tanpa mereka sadari. Tangan pucat Jisoo mengepal kuat, dia menarik napas panjang dan dalam berulang-ulang, menahan genangan bening di ujung pelupuk, mengontrol segala sakit dan kegundahan yang telah menghisap habis oksigen di sekitarnya.

Namun Jisoo tak mampu melakukannya, air mata mulai berjatuhan di atas kedua tangannya yang terkepal kuat. Dia terisak tertahan, kaki dan tubuhnya sudah beku, mati rasa, Jisoo merasa tak kuat dengan garis hidup yang harus dia lalui. Jisoo menangis sendirian, tertunduk kian dalam. Menangisi hari dimana dia harus melepaskan cintanya, melepaskan Oh Sehun. Jisoo memukul dadanya yang sakit, sesak, belati baru saja mengoyak jantungnya hingga hancur berkeping-keping. Jisoo tidak peduli pada buket mawarnya yang jatuh di lantai, dia tidak peduli pada riasan wajahnya yang mulai tampak berantakan karena dia terus menangis.

Usapan lembut di bahu membuat Jisoo tersentak, dia mendongak, pupilnya melebar. "Sehun?"

Sehun berdiri di depannya, mengecup keningnya, membawanya ke dalam pelukan erat yang terasa begitu menyakitkan. Jisoo tersedu sedan, dia balas memeluk Sehun seerat yang dia bisa sebelum waktunya habis untuk itu. Mereka sama-sama menangis, mereka sama-sama meluapkan rindu, cinta, yang hanya bisa dimengerti oleh mereka berdua. Dunia mungkin memperolok mereka, semesta bisa jadi menertawakan mereka, tapi rasa yang hingga kini bersemayam di hati keduanya bukan dusta. Cinta itu terlalu benar, hanya waktunya saja yang kurang tepat.

"Kita pergi dari sini." kata Sehun, dia melepaskan pelukannya.

"Apa?"

"Kita pergi sejauh mungkin dari semua sakit ini, Jisoo. Aku mencintaimu, kita akan memulainya lagi dari awal, kau setuju kan?"

"Sehun?"

Jisoo menggeleng lemah, sesenggukkan, mencari akal sehat di dalam otak yang sayangnya sudah termakan oleh air mata luka yang terus mengalir di kedua pipi piasnya. Dia mencintai Sehun, bahkan sangat mencintai pria itu, jadi tidak salah rasanya dia dan Sehun memilih untuk egois, memilih untuk mempertahankan cinta mereka.

"Maafkan aku karena pernah memaksamu untuk menggugurkan kandunganmu, kita akan membesarkan bayi kita bersama-sama. Aku akan melepaskan Lilian, asalkan kau membatalkan pernikahan ini."

Sehun kembali membawa Jisoo ke dalam pelukan, gadis itu tetap diam dan terus saja menangis. Sehun tahu ini tidak benar, tapi dia tidak bisa diam saja dan membiarkan Chanyeol mengambil Jisoo dari hidupnya. Seminggu hidup tanpa Jisoo rasanya sangat menyiksa, Sehun benar-benar tidak tahu apa yang akan terjadi bila selamanya dia kehilangan gadis yang dia cintai.

Jisoo tersadar, dia menggeleng cepat. "Tidak. Tidak bisa Sehun, aku...,"

"Sehun, Jisoo?"

Jisoo terhenyak lalu segera melepaskan pelukan Sehun, dia terkejut setengah mati, tergagap, pucat pasi. Hyesun berdiri di muka pintu, menatap bergantian Jisoo dan Sehun. Wanita itu buru-buru masuk ke dalam ruangan, menarik Jisoo ke arahnya.

After TwilightWhere stories live. Discover now