Sehun berhasil berlari di atas treadmill dalam kecepatan sedang, pikirannya memantul-mantul, lalu berlarian menerobos kenangan di ujung asa yang tertutup kekecewaan. Semakin cepat Sehun berlari di atas treadmill, semakin cepat pula potongan kenangan berlarian di dalam otaknya yang masih setengah pening (ibuprofen mulai bekerja tapi belum maksimal). Sehun berhenti berlari setelah empat puluh lima menit, dia menarik napas, keringat membahasi wajahnya, kepalanya terasa lebih enteng. Sehun berniat untuk berenang sebentar lalu mandi, tapi saat dia baru saja ingin menceburkan diri ke dalam kolam, suara berat yang terdengar nyaris sama dengan suaranya menepuk punggungnya.

"Inikah penerusku yang hebat itu?"

Sehun memejam dua detik penuh, sesungguhnya dia malas untuk berbalik, pria paruh baya yang kini tengah bertolak pinggang di belakang punggungnya, pasti hanya akan menyemburkan sumpah serapah yang membuat hidupnya semakin tidak waras.

"Kau mau membuat perusahaanku bangkrut, Sehun? Atau kau ingin aku menunjuk CEO baru dan memecatmu, begitu?"

"Pilihan kedua kedengarannya sangat menggiurkan."

"Oh Sehun!"

Sehun berbalik, Junseok murka, dia siap mencaci putra tunggalnya itu. Junseok yang temperamental, perfecsionis dan tidak kenal kata gagal, mulai hilang kesabaran dengan kinerja Sehun akhir-akhir ini. Beberapa kali Sehun mengabaikan kontrak bisnis bernilai ratusan juta won dan memilih untuk tidur, bahkan pagi ini nilai saham perusahaan mereka kembali anjlok. Memalukan.

"Aku muak, Ayah. Aku muak menjadi budakmu, aku muak menjadi alat kesuksesanmu, aku lelah menjadi putramu dengan semua perintahmu."

"CUKUP!" Junseok naik pitam, merah padam, napasnya memburu kasar. "Apa sekarang kau sedang menantangku? Apa kau benar-benar ingin mencoreng arang ke wajahku di depan mertuamu dan rekan bisnisku, begitu?"

Sehun diam saja, Junseok semakin meradang.

"Kau muak dan lelah menjadi putraku? Seharusnya sejak awal kau meminta ibumu untuk tidak melahirkanmu ke dunia ini. Bereskan semua kekacauan, secepatnya. Paham?"

Oh Junseok berbalik, rahangnya mengeras hingga gigi-giginya beradu, matanya memejam sebantar sebelum melangkah menuju lift, meninggalkan Sehun bersama semua perih yang mengiris nadinya karena kata-kata Sehun barusan.


~000~


Chanyeol tiba di rumah pukul setengah tujuh malam, pengusaha sibuk itu selalu berusaha untuk pulang lebih cepat, sejak dia menikah dengan Ryu Jisoo. Bukan semata karena Chanyeol terlalu bahagia dengan pernikahannya, atau karena dia selalu merindukan istrinya, melainkan karena sang istri yang tengah hamil lima bulan, kerap mengeluh perutnya sakit dan baru akan hilang kalau Chanyeol mengusapnya. Tiap kali Chanyeol menyadari fakta itu, tiap itu pula jantungnya berdetak kencang, semua darahnya naik dan berkumpul di pipi, senyumnya mengembang berlebihan dan tubuhnya serasa di suntik gas helium.

Chanyeol tersenyum, Jisoo tengah duduk di ruang utama bersama Ruffier, mereka asik ngobrol sampai wanita cantik itu terbahak-bahak. Kehadiran Ryu Jisoo di rumah besar nan mewah itu, berdampak sangat baik untuk seisi rumah. Chanyeol yang kaku, dingin, dan jarang tersenyum, kini terlihat lebih ramah dan selalu tersenyum. Di rumah dan di kantor. Jongin sampai bingung, pria temperamental itu menduga Chanyeol sudah tidak waras.

Ruffier juga begitu (bukan sering tersenyum, karena dari dulu Ruffier sudah sering tersenyum) pria paruh baya itu jadi sangat rajin memasak dan membuat kudapan. Perlu diketahui, Ryu Jisoo sangat doyan makan, dia bisa menghabiskan lima porsi makanan orang dewasa dalam satu kali makan. Kini bobotnya sudah naik lima kilogram. Jisoo terlihat semakin cantik dan seksi, setidaknya itulah pandangan Chanyeol tentang Jisoo akhir-akhir ini.

After TwilightWhere stories live. Discover now