Dinner Conversation

382 38 7
                                    


Di atas meja makan, lima orang duduk menghadap suguhan yang telah tertata rapi dengan menu beragam. Pak Danian, Mora, Mama, dan dua orang laki-laki dewasa berjas.

"Om Leo, masih suka capcay?" tawar Mora kepada seorang laki-laki tambun setengah botak yang duduk tepat di depannya.

"Dua tahun tidak bertemu denganmu, kau tetap mengingatnya. Ayo berikan ke om."

"Mora, kau tidak hanya cantik, tapi juga baik hati seperti papamu", cakap Om Gusti, laki-laki pemilik kumis lebar melintang. "Terlahir sebagai anak berkelimpahan harta, papamu tidak pernah sombong. Ia selalu membantu kesulitan kami saat masa-masa kuliah."

"Kita terlahir sama hanya nasib yang beda", sahut Pak Danian. "Lihat sekarang yang lebih kaya. Saham Leo ada dimana-mana."

Ketiga laki-laki dewasa di ruang makan tergelak berbarengan mengulas cerita lama.

"Bukankah ada seorang gadis lain di rumah ini. Dari tadi belum menampakkan batang hidungnya. Sudah semalam ini dimana dia?"

Mama sedang menuangkan air minum ke dalam gelas Pak Danian yang telah kosong kosong, nampak kikuk menanggapi pertanyaan Om Gusti.

"Calin, namanya." Pak Danian cepat menjawab. "Banyak kegiatan sekolah yang ikutinya hingga sering pulang malam."

Seseorang yang tengah dibicarakan seketika hadir di tengah mereka.

"Kau akhirnya pulang, sayang." Suara mama memanis menyambut kedatangan Calin.

"Jadi ini dia,"ujar Om Gusti. "Mari Calin gabung bersama."

Calin tegak terpaku di depan meja makan. Kedua bola matanya tertegun menatap dua orang yang tidak dikenali.

"Calinda, duduk. Kenapa berdiri terus?" Mama menarik tangan Calin namun bergeming tidak mau bergerak.

"Di sebelah kananmu Om Gusti, sedangkan sebelahnya Om Leo. Mereka teman dekat papa sekaligus partner kerja. Kau tak perlu takut. Jabat tangan mereka, Calin." Pak Danian bersuara.

Om Leo lebih dulu mengangkat tangan ke arah Calin yang masih mematung. Tidak mendapat balasan dari Calin, Om Leo terkekeh saja.

"Kurasa Calin pemalu. Tak apa kalau kau belum terbiasa untuk berbaur dengan banyak orang. Sepertinya om harus sering mengunjungimu, biar kita bisa akrab."

"Dia mungkin kecapekan." Pak Danian berujar kepada Om Leo.

"Kau sudah menyelesaikan makanmu, Mora? Kau dan Calin istirahatlah ke atas. Oh ya masuk dulu ke kamar papa. Hadiah untuk kalian berdua."

"Benarkah, papa?" Bola mata Mora berbinar menandakan kegembiraan hati. Mora bangkit lalu memeluk erat dan mencium kedua pipi papa.

"Ayo, Calin." Mora mengela lengan Calin setelah pamit menundukkan kepala memberi salam kepada tamu yang masih duduk.

Kedua gadis menapaki tangga lalu masuk ke dalam kamar yang lebih besar dari kamar lainnya. Calin menunggu di ambang pintu kamar, Mora sudah mengarah ke tempat tidur yang di atasnya. Banyak tas tergeletak. Bersemangat Mora membuka satu per satu.

"Calin, ini punyamu," Mora mengangkat tas hitam kecil.

"Apa yang kalian dapat?" Mama muncul dari belakang Calin dan mendorong lembut mengarah ke Mora.

"Bagus sekali. Calin memang membutuhkan." Mama malah yang membongkar hadiah milik Calin. "Jarang kau punya jam tangan."

"Bunda, apa aku terlihat cantik?" Mora memamerkan gaun putih berkain brokat yang segera disambut kagum oleh 'Bunda' sebutan mama baginya.

Calin mengedarkan matanya mengisir tumpukan tas di depannya. "Apa ada baju juga untukku?" tanyanya.

"Kau sudah dapat jam tangan, Calinda. Lihat ini merek terkenal. Apa ini tidak cukup?"

"Benda kecil itu tidak menarik bagiku. Tak ada yang melihatnya jika kupakai. Aku ingin sesuatu yang bisa terlihat. Menjadi pusat perhatian. Seperti itu." Calin menunjuk gaun yang sedang ditempel di badan Mora.

"Kau jangan serakah, Calinda!" Seru mama.

"Tak apa kalau aku tidak dibelikan. Aku bisa mengambilnya." Calin menarik paksa gaun yang sedang dipegang Mora, berpindah tangan kini.

"Bukankah saudara harus berbagi." Bisik Calin disertai seringai kepada Mora sebelum lekas keluar kamar.

Mama mengejar Calin yang telah dahulu menuju kamar dan menguncinya. Gedoran pintu tak juga dibuka Calin.

"Kau sungguh memalukan." Teriak mama dengan emosi.

Di balik pintu kamar, Calin menatap gaun yang sudah berpindah di tangannya. Ketamakan merajai, siapa yang peduli. Pikirannya tersihir rembulan yang memantulkan cahaya ke ke langit-langit, lantai, meja kamar. Ada yang harus dituntaskan sebelum kegelapan malam sirna. 

Carita CalinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang