Me Vs Mama

540 71 33
                                    


GUBRAAK.

Tanpa mengetuk pintu, Calin menyelonong masuk ke dalam kamar Mora. Dari meja belajar, Mora menyapa dengan senyuman manis yang tidak terlihat dan terdengar oleh Calin yang matanya memandang isi ruangan kamar. Jemari tangan Calin menyelusuri pajangan dalam rak pink di samping tempat tidur.

"Kau berencana ikut casting sekolah?" Calin berbicara. Masih tidak menoleh Mora, hanya menatap dari pantulan cermin meja rias. Menyisir rambut dengan jari-jari tangan berpoles corak kupu-kupu.

"Tidak." Mora meletakkan bullpen­. "Tugasku banyak. Tidak akan kesempatan untuk turut serta."

"Baguslah. Kebetulan sekali, garapkan PR-ku."

Mora terkejut mendapati buku yang terlempar dari tangan Calin ke atas meja belajar tepat di hadapan Mora.

"Aku mau kau yang mengerjakan."

"Calin, tugasku juga banyak. Tidak bisakah kau menyelesaikan sendiri?" Mora bertanya. Tangannya memegang bolpoin hitam.

"Tidak." Bantah Calin. "Aku tidak bisa. Fisika, aku tidak menyukai angka-angka dan rumus-rumus itu. Kau berharap nilaiku merah karena mengerjakan sendiri, heh!"

"Aku bisa mengajarimu."

"Tapi, aku tidak bisa. Akan membutuhkan waktu mengajari seseorang sepertiku. Lagian ku tahu kau sudah menguping pembicaraanku dengan kepala sekolah. Kau sudah sok tahu mencampuri urusanku. "

"Tapi, Calin . ."

"Dan jangan sampai kau mengadu pada papamu. Kau tidak ingin reputasinya rusak hanya karna kebodohanku kan. Kalau begitu bantu nilai kakakmu ini menjadi terbaik. Kerjakan dulu tugasku. Kau belakangkan tugasmu itu. Jadilah saudara yang baik."

Calin bangkit dari kasur yang baru sesaat direbahinya. Lebih empuk dari miliknya di kamar sendiri. Pergi.

Menuruni tangga, langkah Calin terhenti saat di ruang makan utama. Ingin Calin menempuh jalan lain, namun satu-satunya jalan hanya melewati ruangan ini. Di meja makan, Pak Danian duduk bersama mama menghadap makanan yang disajikan.

"Kau akan pergi?" Tanya Pak Danian. "Kemarilah, kita makan malam bersama. Panggil juga Mora."

"Tidak. Aku tidak lapar, Om." Calin melenggang.

"Calinda . ." Mama Calin memanggilnya, namun Calin tidak menyahut.

Sampai di ambang pintu keluar ruang tamu, lengan trench coat Calin tercengkeram oleh mama yang menyusulnya.

"Calinda, bisa-bisanya kau memanggil papamu dengan sebutan om?" Mama menyalak dengan galak. Matanya menyorot tajam dan merah. Betapapun Calin tidak menyukai saat-saat mama marah dan harus terlibat debat, dia suka cara mama memanggil namanya. Hanya mama-lah yang memanggil lengkap 'Calin' bukan 'Calin' seperti kebanyakan orang-orang yang mengenalnya.

"Hah! Papaku? Aku tak tahu siapa yang harus menjadi papaku? Papaku sendiri saja tidak kuketahui entah kemana. Dan seseorang tadi mesti kupanggil papa? Tidak. Mama yang memaksaku menjadi keluarga dengan mereka, yang bahkan mama tidak pernah menanyaiku setuju atau tidak dengan pernikahan kalian. Dia seperti laki-laki lain yang pernah mama nikahi. Dia tidak pantas kupanggil papa."

Calin menatap mama dengan dingin.

PLAAAK.

"Sa..ayang, maafkan mama". Mama memandang Calin yang lantas saja ditamparnya.

"Kita memang tidak bisa menuntut yang kita inginkan," Ucap Calin. "Aku menginginkan papa di sampingku, bisakah mama mempertemukanku dengannya? Heh? Tidak bisakan? Begitu juga, aku tidak bisa menuruti mama."

Calin menahan perih di pipinya.

"Aku benci mama sekarang."

Calin berlari keluar. Meninggalkan rumah mewah warna krem bak istana yang berdiri kukuh tampak anggun di tengah rimbunan hutan dengan taman-taman bunga warna warni berhamparan di sisi kanan kiri. Masuk ke dalam taksi yang sebelumnya dipesan, membawa Calin dalam germelapnya malam. Dadanya sesak meradang dan kecewa.

s윕 U 

Carita CalinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang