[10] Pernyataan Perang

179 17 2
                                    

<¤¤¤>


"HOAAMM!"

Gue meregangkan badan gue dan keluar dari kamar. Semalam merupakan salah satu dari sekian malam yang mengerikan bagi gue. Gue masih nggak percaya, setelah kejadian semalam gue masih bisa bangun sepagi ini.

Mungkin gue ke sekolah aja hari ini.

Langkah kaki gue menuntun agar gue segera menuruni tangga, dan menuju dapur untuk mengambil segelas jus jambu yang segar. Gue meraih buah pir yang berada dalam keranjang buah di atas meja. Baru aja gue memegangnya, gue teringat untuk mengambil pisau.

Tapi, kok gue nggak nemu-nemu pisaunya ya? Masa gue harus make pisau daging hanya untuk ngupas buah pir? Nggak mungkin banget, mau jadi anti-mainstream juga ada batasnya.

Ingatan gue tiba-tiba kembali ketika makan malam kemarin. Gue menepuk jidat gue, bukannya kemarin malam Laila make tuh pisau ya? Gawat nih, bisa-bisa tuh pisau nggak bakalan balik lagi kalo udah ada di tangannya Laila.

SRAK!

SRUK!

GLUDUK-GLUDUK!

BUAAR!

KLAANG!

KLONG-KLONG!

SYUUT!

Buset! Suara apaan tuh? Perhatian gue beralih ke taman samping rumah, yang merupakan arah dari sumber suara. Ini masih jam lima pagi udah ngerusuh aja. Namun, perasaan gue tiba-tiba terasa nggak enak. Mungkinkah?

"Tumben banget lo bangunnya jam segini?" Ugh, perut gue mules saat tau siapa pemilik suara itu.

Rencananya nih, gue mau menghindar atau nanyain keberadaan pisau yang dia pake semalam. Tapi, pandangan gue lebih terfokus kepada benda yang dipegangnya sekarang.

Jari telunjuk gue tertuju ke benda yang Laila pegang. "Sejak kapan lo punya I-Phone 6?"

Arah pandang matanya juga ikut ke I-Phone 6 yang dia pegang. "Lo pagi-pagi udah kepo banget sama gue. Kenapa lo? Sirik nih ye?" Sewot amat nih monyet. Jadi pengen banget gue semprotin nih jus jambu yang ada di dalam mulut gue ke muka monyetnya.

Gue mengusap-usap dahi gue. "Bukan gitu, nyet. Meski gue nggak pengen tau mengenai hidup lo, tapi gue nggak bisa ngehidarin untuk nggak tau tentang kebiasaan lo yang nggak suka pake I-Phone."

Setelah gue bicara seperti itu, seketika suasana di antara gue dan Laila berubah menjadi ... awkward banget!

Ini kenapa bisa jadi hening gini? Sejak kapan Laila nggak bales omongan gue? Gue kira mulutnya cewek ada dua, kan? Ah! Bukannya Laila spesies baru ya, mungkin jumlah mulutnya masih belum dipastikan banyaknya.

Mulut Laila kemudian mengerucut dan ... "cuih!"

Sebuah cairan berbusa melambung tinggi ke arah gue. Dengan secepat kilat, segera gue menghindari serangan liur alias ludah bervirus yang Laila semprotkan. "Lo kesambet hewan apaan skarang?! Maen ngeludah sembarangan aja. Gimana kalau gue sampe kena rabies?"

"Heh! Jangan pernah lo berani-berani terbiasa dengan kebiasaan hidup gue, ya? Gue gak pernah sudi! Cuih!" ancamnya lalu meluncurkan serangan kedua, tapi sayangnya tetap berhasil gue hindari.

Emang dasar monyet liar. Tapi, tunggu dulu. Gue masih nggak yakin soal tuh I-Phone deh. "Laila, kalo lo pengen I-Phone, minta di Papi aja deh. Kan lo jadi nggak usah nyolong kek gini?"

"WHAT THE FUCK ARE YOU TALKING ABOUT?! Ini I-Phone gue beli sendiri, kampret!" Yaelah, mulai berdusta nih monyet.

Gue menunjuk wajah gue sendiri. "Lo liat muka gue. Menurut lo, ada tanda-tanda gue bakalan percaya nggak?"

Misteri Di Antara Laila & LeitoWhere stories live. Discover now