Part 6

5K 311 5
                                    

"Naruto."

Pria pirang yang dipanggil Naruto itu menoleh. Sedikit kaku, ketika berhadapan dengan gadis yang telah resmi menjadi tunangan pemuda bungsu Uchiha beberapa minggu lalu. "Ya, Sakura-chan?"

Naruto sempat berpikir jika gadis pink di depannya akan menampar dan memakinya karena kejadian yang menimpa Hinata -itupun jika ia mengetahuinya, beberapa waktu lalu.

"Mau ikut denganku?" Naruto mengernyit bingug. Ikut kemana?

"Kau belum tahu, ya?" Sakura menghela nafas pelan menyadari ekspresi polos yang dilemparkan Naruto. "Kemarin Hinata ditemukan digudang, pendarahan, dan... kau tahu lah. Seseorang melakukan sesuatu padanya."

Tubuh Naruto menegang. Dia menelan ludah dengan susah payah.

"Aku merasa kasihan sekali padanya, bajingan itu berani sekali berbuat jahat pada sahabat baik hatiku."

"L-lalu, kau i-ingin menengoknya, begitu?"

"Ya." Sakura mengernyit, merasa aneh dengan sikap Naruto yang tak biasa. "Naruto, kau baik baik saja? Wajahmu pucat sekali." Tanyanya seraya menyentuh kening Naruto dengan tangan kanannya.

Naruto menepis tangan itu kasar. Mata Sakura terbelalak, terkejut dengan perlakuan kasar sahabat tengil di depannya. "Hei, apa-apaa-"

"M-maaf, Sakura-chan. Aku harus pergi." Ujarnya tergagap kemudian pergi tanpa menunggu jawaban perempuan tersebut.

Sedangkan Sakura sendiri mengerucutkan bibirnya seraya mengelus punggung tangannya yang memerah. Kuning kurang ajar.

***

Naruto berlari cepat melintasi jalanan yang ramai. Beberapa orang yang ditabraknya mengumpat kasar namun tak dia hiraukan. Dirinya tak mengerti mengapa dia berlari ke arah rumah sakit Konoha yang jelas berlawanan arah dengan mansion miliknya.

Pendarahan katanya?

Naruto menghentikan larinya dalam sekejap. Berpikir heran mengapa dirinya kini berada di depan rumah sakit umum itu. "Memang apa peduliku?! Jalang itu pantas mendapatkannya." Raungnya marah.

"Naruto?"

Naruto tersentak. Kaget tentu saja, mendengar suara yang terdengar familiar di telinganya. Suara pria ini. Pria yang bersahabat baik dengan Uchiha Itachi, pria yatim piatu, pria bermarga Hyuuga dan tangan kanan kepercayaan si brengsek Hiashi.

Neji Hyuuga.

Naruto tak melihat gurat kemarahan maupun dendam di wajah lelaki berambut panjang itu. Salivanya terasa sekeras batu ketika dia mencoba menelannya -gugup. Apa Hinata tak mengatakan apapun tentang kebejatannya? Dengan begitu dia bisa dengan mudah membalas dendam orangtuanya pada si keriput tua Hyuuga Hiashi.

Semua Hyuuga sama saja! Sama sama mempersulit jalan hidupku.

"Apa yang kau lakukan di sini?" Neji bertanya dengan kalem. Meski begitu, rasa bersalah dan sedih kental keberadaannya di sana. "Apa kau mau menjenguk Hinata-sama? Semua teman temannya ada di sana."

"A-apa?"

Neji mundur selangkah. Memandangi pemuda di depannya dengan tatapan menilai. "Kau sakit? Badanmu berkeringat dan wajahmu pucat." Sial, dia peka sekali. Gumam Naruto dalam hati.

"Mari masuk," Neji berjalan mendahuluinya tanpa menunggu jawaban. "Aku yakin Hinata-sama akan senang melihat sahabatnya datang menjenguk."

Entah perasaan Naruto saja atau apa tapi Neji menekankan kata sahabat seolah sudah mengetahui segalanya. Dia berjalan pelan mengikuti Neji dari belakang. Aroma rumah sakit begitu pekat, bau, meninggalkan ingatan kelam. Ingatan di mana dia menyaksikan kedua orangtuanya yang dibawa oleh pihak rumah sakit untuk pemeriksaan lebih lanjut. Tatapannya kala itu kosong, gelap, tak ada harapan. Selebihnya hanya rekan rekan dekat yang turut mendukungnya menjalani hidup. Termasuk pemuda Hyuuga munafik di depannya yang hadir di belakang para pengunjung dengan sebuket bunga ditangannya.

"Hinata-sama menunggumu."

"E-eh? Menungguku?" Sebelum Naruto sempat menyelesaikan rasa paniknya, Neji keburu mendorong tubuh jangkung miliknya ke dalam.

Sepasang bola mata Lavender menatapnya lembut, menyambut. Kedua pasang mata mereka beradu dengan rindu. Naruto menangkap pemandangan tak enak di depannya. Hinata berbaring -setengah duduk disana, bersandar pada kepala ranjang. Perut hingga jari jari kakinya tertutup selimut. Wajah ayu yang biasa merona itu sirna. Tergantikan oleh kulit pias dengan sepasang bibir yang pucat dan pecah. Bibir lembut yang biasa memanggil namanya dengan nada khas. Khas ala Hyuuga Hinata. Kini absen kehadiran jiwanya. Hanya tampak seperti boneka manekin yang kerap memasang senyum untuknya.

Masih senyum yang sama. Hanya untuk pemuda yang tercinta,

Sang Uzumaki tunggal.

***Tbc

Maaf jika kependekan dan bnyak typo, hari semakin gelap dan PR dah pada ngerengek minta dikerjain *gantungdiri

Ucapan terima kasih ga akan berhenti, bagi para pembaca yang masih setia mengikuti cerita absurd ini. Moga aja selesai dalam dua-tiga part lagi. Moga saja...

Salam hangat...
~misscollins08

Extremely Loving YouWhere stories live. Discover now