Part 2

5.7K 322 9
                                    

***

Naruto meremas rambutnya kencang. Pandangannya tajam namun kosong. Kamarnya tampak berantakan disebabkan kedua tangannya yang tak mau berhenti membanting barang-barang mahal miliknya. Kedua bola mata biru itu terpaku kepada sebuah botol yang tampak pecah di bagian bawahnya. Aroma menyengat yang menguar dari dalamnya mengingatkannya pada saat intimnya dengan Hinata.

Pria berambut pirang itu bangkit dari posisi bersandarnya. Dia melangkah ke arah kamar mandi untuk membersihkan diri. Pikirannya berkecamuk tak bisa berhenti memikirkan nasib gadis malang yang baru saja dia usir. Dia memang pria brengsek yang sering menyewa wanita jalang dan menendang mereka keluar setelah memberi upah. Namun ini Hinata. Perempuan yang menjadi teman hidupnya semenjak mereka di taman kanak-kanak.

Naruto menyambar sebatang rokok yang jarang dia sentuh di atas meja belajarnya. Siapa lagi yang berani melarangnya merokok jika bukan gadis Hyuuga kesayangannya itu.  Namun dia sudah tak peduli, mau gadis itu mati sekalipun dia akan senang hati tertawa di pemakamannya. Oh Kami sama... rasa takut apa yang telah merubahnya menjadi sesosok jahat seperti ini?

Setelah memastikan pintu apartemennya terkunci, Naruto berjalan menaiki lift keluar gedung megah itu untuk sekedar mencari makanan ringan. Jalanan terlihat sepi meski ini masih siang hari. Langkah kakinya yang lebar terdengar dengan jelas. Bahkan umpatan pemuda pemuda biadab yang hendak melecehkan seseorang di gang sempit samping sebuah ruko tua.

"Brengsek!" Geram salah seorang dari mereka. "Berani sekali kau menyentuh wajahku!" Kemudian menyeret gadis sakit itu semakin dalam bersama kawan kawannya.

Sesosok mungil yang tampak familiar di matanya terlihat ketakutan. Kedua bola mata birunya membulat melihat dia adalah Hinata. Hatinya berdenyut sakit. Tak tega melihat gadis itu berusaha melarikan diri. Beberapa pukulan, tendangan, bahkan gigitan coba ia lemparkan. Namun apa gunanya, sekelompok bajingan itu semakin bersemangat dengan aksi bejatnya.

Kedua tangannya mengepal erat begitu sang korban menyadari kehadirannya. Rintihan dari muutnya yang tersumpal terdengar seperti permintaan tolong yang sangat. Matanya tak berkedip, menatap nanar ke arahnya. Tangannya mencakar tanah mencoba menggapai apapun demi meloloskan diri. Luka luka ditubuhnya bertambah sedari para pemuda itu tak berhenti melayangkan pukulan dan tendangan.

Hinata berhasil membuang sumpalan kain dari dalam mulutnya dan menjerit. "NARUTO-KUN, TOLONG!"

Naruto masih bergeming. Tak sadar jika para pemuda tersebut tersentak melihat kehadirannya. Buru buru mereka merapikan pakaian kemudian lari tergopoh gopoh meninggalkan sepasang sahabat itu di tempat kejadian. Tak jarang terdengar umpatan kasar dari bibir mereka karena belum selesai memuaskan hasrat binatang mereka.

Hinata masih berbaring disana. Pakaian yang belum lama dia pakai telah terhempas tak jauh dari kakinya. Tubuhnya tak bergerak. Hanya bergetar. Kedua matanya tertutup. Tubuh mulusnya dipenuhi lebam dan bercak merah karena cengkraman.

Mengenaskan... menyedihkan.

Tubuh Naruto bergetar. Perasaan aneh menyusup ke dalam hatinya. Perasaan senang yang menggebu. Pemandangan di depannya seolah mengobati perasaan sakit hatinya karena ditinggal orang tua. Hinata tampak menderita, sama sepertinya. Hinata tampak sakit, sama persis seperti sang pemuda rubah. Hinata tampak lebih memilih mati daripada dipandang hina oleh masyarakat, sama seperti dia.

***

Hinata kedinginan. Jelas terlihat dari tubuhnya yang bergetar meski dibalut selimut tebal. Dia baru sampai kamar sederhananya malam hari. Setelah berbaring tanpa pakaian di tempat gelap selama berjam jam jelas memberinya demam yang serius. Di depannya terletak sebuah kotak sampah besar berisi tisu tisu basah dari hidungnya.

Gadis bermarga hyuuga itu tak hanya menangis, namun ia juga demam. Dia tak bisa membendung perasaan sakit yang memenuhi relung hatinya. Dia jelas melihat Naruto di sana, namun diam dan tidak menolong. Seringai yang terpampang di wajah tampan itu merubuhkan seluruh dunianya. Sakit. Pedih. Entah apa kesalahan yang dia perbuat sehingga Naruto tak mau menolongnya sedikit pun. Meski ada rasa lega ketika para pemuda jahanam tadi tak melakukan perbuatan mereka hingga akhir, tetap saja dirinya merasa kotor. Tubuhnya sudah tak sesuci biasanya. Meski dia tahu tak lama ia pasti akan mengalaminya. Namun jika bukan oleh pemuda yang dicintainya, bagaimana?

Pria yang sudah menyentuhnya bukan hanya satu. Tapi beberapa, dan di saat yang sama.

"Hiks.." Hinata mengadah memandang pemandangan malam yang gelap tanpa bintang. "Okaa-san... Maafkan Hina.."

Jemari lentik miliknya menggapai selembar foto atas dirinya dan Naruto ketika kelulusan SMP. Keduanya tampak bahagia dengan tangan yang saling bertautan. Kedua bola mata indahnya terpaku pada sebuah cincin yang terpasang pada jarinya di foto itu. Bahkan masih dia gunakan hingga sekarang. Hadiah dari Naruto. Sekaligus pengikat janji suci mereka.

"Selamat, Hinata-chan! Kita lulus." Hinata menoleh kepada lelaki tampan yang berteriak girang di belakangnya. "Aku punya sesuatu untukmu."

"Apa itu, Naruto-kun?"

Naruto mengeluarkan sebuah cincin dari saku celananya. Tanpa berkata, dia menggenggam tangan kanan kecil didepannya dan menyematkan cincin tersebut di sana.

"Cantik.." gumamnya pelan. Jangan lupa semburat merah samar yang hinggap dipipi bergores miliknya.

"A-ano, Naruto-kun? Tapi ini untuk apa?" Wajah Hinata tak kalah merah. Terlihat begitu matang dan siap pingsan.

Naruto bergerak dan merengkuh tubuh Hinata dalam dekapannya. "Kemarin Okaa-san bilang jika laki-laki harus melindungi perempuan, terutama yang dia sayangi."

Naruto mengambil jarak namun tak melepas tangannya dari kedua bahu Hinata.

"Aku akan selalu melindungimu, Hinata-chan!" Serunya disertai cengiran rubah khas miliknya. Hinata semakin merona dan tak lama pingsan tepat di pelukan pemuda yang disukainya. Bodohnya, Naruto tak melakukan apa apa kecuali menjerit jerit panik layaknya wanita.

***Tbc

Extremely Loving YouWo Geschichten leben. Entdecke jetzt