BAB 17 (d)

142K 12.1K 727
                                    




SATU hal yang Iris rasakan ketika Ira memperlakukannya seperti manusia adalah; cemas. Selama ini Ira selalu jadi orang yang penuh kuasa, memerintah, mendominasi, dan tidak ingin terkalahkan. Sungguh aneh melihat cewek itu berbaik-baik padanya di depan Alden. Apalagi mengajarinya pelajaran. Iris cemas otak Ira sedikit geser ke kiri.

Maka dari itu ketika Ira ke toilet, Iris berniat mengikutinya.

"Gue ke toilet juga ya, Den," ucap Iris, menaruh pulpen di atas meja.

Alden yang tengah membuat soal untuk Iris kini mendongak, menatap cewek itu dengan mata bulatnya yang menggemaskan. "Nyusul Ira, ya? Kenapa cewek seneng ke toilet bareng, sih? Kalo cowok aja pasti dituduh homo."

"Karena cewek selalu benar," cengir Iris.

Menyadari dirinya sendiri nyengir pada Alden, Iris jadi heran dengan benteng pertahanannya. Dia mudah sekali jatuh pada Alden. Bila orang lain, pasti Iris hanya melihatnya sinis sambil melengos pergi.

Ternyata Alden juga sadar dengan sikap Iris yang perlahan berubah. "Aduh, dicengirin Iris. Harus tumpengan ini mah."

Iris mendengus geli, lalu beranjak dari mejanya menuju toilet. Banyak pikiran berkecamuk di kepala cewek bermata cokelat madu itu. Pikiran yang hanya berputar pada satu lingkaran. Alden, Ira, dan Ari.

Ari....

Sejak Iris meninggalkan mobil Ari di malam itu, Iris belum sekali pun bertemu atau bertegur sapa dengannya. Iris menghindari kantin dimana Ari biasa berada dan memilih membawa bekal makanan. Bahkan cewek itu menghindari rute koridor yang biasa Ari lewati dan memilih memutar. Iris tidak mau mereka canggung seperti dulu lagi.

Terutama untuk masalah yang sama.

Berputar di antara status teman atau lebih dari teman.

Melihat Ira sedang mencuci tangannya di wastafel, Iris pun berhenti berjalan, menunggu hingga Ira selesai dan melihat pada bayangannya di cermin. Dan sesuai dugaan, Ira mendongak, otomatis melihat Iris yang ada di belakangnya.

"Ra, kita perlu ngomong," tutur Iris.

Jantung Iris berdegup akan segala kemungkinan. Apa Ira cuma memanfaatkan keadaan agar bisa dekat dengan Alden? Apa Ira hanya melakukan ini agar Alden senang? Apa Ira merasa bersalah pada Iris karena waktu itu mereka cek-cok panas? Atau Ira... benar-benar ingin berteman lagi dengannya?

Seperti mereka yang dulu?

Ira menghela napasnya sesaat, kemudian berbalik, menghadap pada Iris. "Ngobrol apa, Ris?"

"Lo tahu apa yang ada di pikiran gue sekarang," balas Iris lagi. "Kenapa lo jadi tiba-tiba baik sama gue? Apa lo kepikiran omongan gue waktu itu? Gue nggak ngerti, Ra."

Ketika mata Ira menuju arah lain selain Iris, Iris tahu kalau pertahanan Ira mulai runtuh. Tangan Ira bergetar, disembunyikan dengan mengepalkan tangannya kuat-kuat. Iris tahu semua tidak beres ketika punggung Ira terisak.

"Ayo balik lagi ke tempat Alden," ucap Ira tak acuh.

Apa dia gila? Kondisinya sudah seperti orang yang ingin menangis hebat dan sekarang dia masih ingin berpura-pura? Iris tidak habis pikir akan jalan pikiran Ira.

"Ira, kasih tau gue," Iris mendekat, menangkap kedua bahu Ira lembut. "Ra...."

Mendengar suara lembut Iris, pertahanan Ira benar-benar runtuh. Dia tidak sanggup lagi menahan isak tangisnya. Beban yang menggelayut bahunya perlahan meluruh, dikeluarkan dengan air mata yang menetes keluar, membasahi pipi Ira.

"Iris...," parau suara Ira, memanggil nama sahabat lamanya. Getar suara Ira membuat hati Iris seolah terpecah berkeping-keping. Baru kali ini Ira sangat terlihat rapuh.

Iris memeluk Ira. Dan sahabatnya itu tidak menolak. Ira malah menunduk, memeluk Iris lebih erat, seolah hidupnya bergantung padanya.

"I'm afraid that I have to let him go for you, for his happiness," bisik Ira, suaranya sangat lemah sehingga Iris nyaris tidak mendengar.

Tapi Iris mendengar. Dan sekarang Iris merasa bahwa selama ini bukan hanya Iris yang terluka, bukan hanya dia yang ditinggalkan, dan bukan hanya dirinya yang resah akan perputaran ini.

"Ra," panggil Iris, mengusap punggung Ira. "Liat lo gini gue juga sakit, Ra."

"Gue nyoba buat rela, Ris. Tapi nyatanya gue pengin ada di posisi lo. Dan yang bikin semua ini makin kejam adalah lo sahabat gue," isak Ira. "Kenapa harus lo yang Alden suka? Kenapa...?"

"Gue nggak suka Alden, Ra. Lo masih bisa ngejar Alden. Lo masih bisa."

"Tapi gue bukan orang yang bisa bikin Alden senyum."

"Tapi," Iris melepas pelukan mereka, menatap keduamanik mata Ira. Tatapan mereka sama-sama terluka. "Tapi... lo orang yang selaluada buat dia. Itu bedanya."

A/N

:"(

I Wuf UWhere stories live. Discover now