BAB 15

181K 13.4K 1.5K
                                    




SUDAH pasti Iris gagal total dalam ulangan matematikanya hari ini. Dia sama sekali tidak belajar karena pikirannya dipenuhi oleh Alden. Yang terngiang hanyalah suara parau Alden menyuruhnya belajar. Tapi tiap kali suara itu terngiang, rasa bersalah melilit perut Iris. Dia tidak bisa belajar sama sekali.

"Nih minum dulu," ucap Pita sambil menyodorkan minuman kotak rasa jeruk pada Iris.

Sekarang mereka sedang di kantin pada jam istirahat pertama. Sebenarnya Iris ingin makan di kelas saja karena dia tidak suka dengan kebisingan kantin. Tapi Pita menolak karena katanya dia sedang mencari gebetan. Ada-ada saja.

"Karir nari gue bener-bener hancur," ucap Iris. Tangannya membuka bungkus sedotan. Sikapnya itu sungguh seperti orang ling-lung. "Tanpa nari, gue jadi apa?"

"Lebay lo. Yang penting Bu Aveny nggak tahu," timpal Pita. Seperti biasa. dia menggampangkan sesuatu. "Kalo gue jadi lo, gue bakal minta banyak dukungan dari guru-guru seni. Kan nggak semua orang bisa pandai di semua bidang."

Gampang Pita bilang seperti itu. Kedua orangtuanya mendukung penuh apa pun cita-cita Pita asal positif. Terlebih Pita adalah anak emas tiap guru. Dia nyaris bisa semua hal, kecuali menyebrang jalan–Pita harus dituntun seperti anak TK tiap kali menyebrang.

Sementara Iris, dapat dukungan guru tidak, apalagi orangtua. Iris seperti berusaha seorang diri. Membuktikan kepada orangtuanya bahwa menari tidak sejelek pandangan mereka.

"Eh, itu Ari," ucap Pita tiba-tiba, matanya tertuju pada satu arah.

Iris yang tadinya tertunduk lesu, kini mendongak. Jauh di sana Ari sedang berjalan menuju teman-temannya di satu meja. Teman-temannya menyapa Ari dengan tepukan di bahunya. Dari sini saja, Iris sudah tahu bahwa Ari adalah pemimpin kecil di antara teman-temannya.

"Ari terkenal lho, Ris," gumam Pita menerawang. "Gue bingung kenapa lo sama dia masih temenan. Padahal kelakuan lo berdua kayak udah pacaran."

"Kalo gue suka dia, emang harus pacaran?" tanya Iris skeptis. "Gue emang suka dia, tapi gue nggak berani untuk bilang. Nanti dia ngejauh malah gue yang nyesel."

Pita menatap Iris sungguh-sungguh. "Jadi lo beneran berpikir kalo Ari nggak suka sama lo?"

Iris terdiam sebentar, kemudian mengangguk. Mana mungkin Ari suka padanya? Mereka hanya teman. Tidak lebih tidak juga kurang.

"Gue tes, ya," ucap Pita seraya mengambil ponsel di saku seragamnya. Dia memainkan ponselnya sambil tetap mengoceh, "kalo cowok nggak suka sama lo, dia bakal lama balesnya. Tapi kalo dia suka atau jadiin lo prioritas, pasti dia bakal bales... done. Kita liat apa reaksi Ari, oke?"

"Lo ngapain, sih?" tanya Iris penasaran.

Pita menunjukkan layar ponselnya. Sebuah ruang obrolan Pita dengan Ari terpampang. Di sana hanya ada satu balon pesan, yaitu pesan Pita kepada Ari.

Pita: Ar, lo dimana? Ada yang mau gue omongin.

Alis Iris tertaut. Percobaan Pita sangat aneh.

Pita melotot ke arah Ari, menunggu reaksi. Maka itulah yang Iris lakukan pula. Awalnya ada getar di saku celana Ari. Cowok itu mengambil ponsel dari sakunya, melihat sekilas notifikasi ponsel–yang ternyata dari Pita, lalu memasukkannya lagi ke dalam saku celana seolah tidak terjadi apa-apa. Ari kembali mengobrol bersama teman-temannya sambil tertawa.

Lima menit Iris dan Pita melongo karena reaksi Ari yang kelewat kurang ajar. Ternyata begini rasanya melihat langsung saat pesan diabaikan.

"Gila, bangke tuh anak," umpat Pita tidak terima. "Awas aja kalo ada kesempatan, gue piting lehernya."

I Wuf UTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang