#8

2.2K 25 0
                                    

Terdengar suara yang merdu merayu itu kembali berkumandang. "Kongcu, apakah perlu makan sedikit?"
"Aku tak lapar!"
Nona itu tertawa, kembali tanyanya. "Kongcu merasa haus?"
"Aku tidak haus!" Buyung Im Seng menggeleng kepala beruang kali.
Nona itu segera menghela napas sedih, mulutnya membungkam dalam seribu bahasa dan tidak berbicara lagi.
Buyung Im Seng menjadi keheranan setelah menyaksikan kejadian itu, segera tegurnya. "Mengapa kau menghela napas panjang?"
"Budak tak pandai melayani orang, mungkin itulah sebabnya mengapa kongcu merasa tak senang hati."
"Kapan sih aku merasa tak senang hati?" kembali Buyung Im Seng bertanya keheranan.
"Kau tak mau minum, juga tak mau makan, bukan jelas kalau kau sedang marah pada budak?"
Buyung Im Seng segera tertawa lebar setelah mendengar perkataan itu, katanya. "Kalian orang2 Li ji pang memang betul2 sangat lihai, aku tidak lapar juga tidak dahaga, apakah hal ini berarti marah kepada nona? Kita tak pernah saling mengenal, sekalipun aku sedang marah juga takkan melampiaskan kemarahan tersebut pada diri nona!"
Sementara itu terdengar suara roda kereta bergema, dengan gerakan yang sangat cepat kereta itu sedang bergerak ke depan sana.
Tiba-tiba tampak cahaya api berkilat, tahu2 ruangan kereta itu sudah diterangi dengan sebuah lentera. Itulah sebuah lentera kecil yang digantungkan di atas kereta.
Di bawah cahaya lentera, tanpa sadar Buyung Im Seng telah berpaling dan memperhatikan sekejap wajah dayang tersebut. Dia baru berusia enam-tujuh belas tahun, alisnya lentik, kulitnya halus, sekalipun paras mukanya tidak terhitung cantik, namun memiliki semacam daya tarik yang cukup mempesonakan hati orang yang melihatnya.
Dayang itu sedang berlutut sambil memasang lentera, setelah memadamkan api di tangannya, dia berkata sambil tertawa merdu. "Apa paras mukaku terlampau jelek?"
Buyung Im Seng tertawa ewa. "Apakah nona menginginkan beberapa patah kata pujian dariku?" dia balik bertanya.
Dayang itu segera mengangkat bahu. "Pujian sih tidak perlu, asal kongcu tidak terlalu muak kepadaku, hal ini sudah lebih dari cukup."
"Ooh... apakah nona mendapat peringatan dari pangcu kalian untuk melayani serta mendengar perkataanku?"
Gadis itu mengerdipkan matanya berulang kali, setelah termenung sejenak sahutnya. "Kalau benar kenapa, kalau tidak kenapa?"
"Kalau kau mendapat perintah dari pangcu kalian untuk melayani diriku, maka aku rasa hal ini tak perlu dilanjutkan."
"Seandainya atas dasar kehendak budak sendiri?"
"Maka nonapun tak perlu bersikap terlalu baik kepadaku."
Dayang itu segera menghela napas panjang. "Aiii... kongcu mengharapkan aku berbuat bagaimana?" tanyanya kemudian.
"Silahkan nona duduk lebih dulu, bila aku membutuhkan bantuan dari nona, sudah barang tentu akan kuminta bantuanmu nanti."
Dengan sepasang matanya yang tajam, gadis itu mengawasi paras muka Buyung Im Seng beberapa saat lamanya, kemudian berbisik lirih. "Kongcu benar-benar seorang lelaki sejati!"
Dia lantas duduk disamping kereta dan tak banyak bicara lagi.
Kereta itu meluncur dengan cepatnya ke arah depan, Buyung Im Seng segera memejamkan matanya dan bersandar di dinding kereta untuk beristirahat.
Entah berapa lama kemudian, tiba-tiba kereta itu berhenti. Menyusul kemudian dari sisi telinganya mendengar ada suara merdu lagi berbisik.
"Kongcu, bangun sudah sampai..."
Ketika Buyung Im Seng membuka matanya, tampak kalau tirai sudah disingkap dan Kwik Soat kun sudah menanti di depan kereta.
Setelah turun, tampaklah sebuah gedung yang tinggi besar terbentang di depan mata, pintu gerbang sudah terbuka lebar, dua orang gadis berbaju hijau dengan membawa lampu teng, berdiri dikedua belah sisi pintu.
Dengan suara lirih Kwik Soat kun lantas berkata: "Meja perjamuan telah dipersiapkan ditengah ruangan, silahkan kongcu menghadiri perjamuan akan segera dimulai!"

Sambil tertawa Buyung Im Seng manggut2, "Aku tidak lebih hanya seorang petualang dari dunia persilatan", katanya, "pemberian dan perhatian dari perkumpulan kalian terhadap diriku, sungguh membuat aku merasa amat tidak tenang."
Kwik soat kun tertawa. "Aaah, apa yang kami lakukan tak lebih hanya merupakan suatu tanda hormat kami kepada dirimu, pangcu kami pernah berujar, bila kongcu berhasil mendapatkan kembali kitab ilmu pedang itu, maka dia akan menyelenggarakan suatu perjamuan mewah yang tak pernah terjadi selama ini."
"Soal ini, aku harap nona suka membantuku memberitahukan kepada pangcu kalian, lebih baik urungkan saja niatnya itu."
"Perjamuan mewah yang belum pernah terjadi selama ini merupakan suatu perjamuan yang luar biasa sekali, perkumpulan kamipun telah mempersiapkannya selama banyak waktu, soal itu adalah persoalan di kemudian hari, harap kongcu jangan menguatirkannya."
Sementara itu kedua orang sudah menaiki anak tangga dan masuk ke balik pintu gerbang.
"Blamm!" dua orang gadis berbaju hijau yang membawa lentera itu segera menutup rapat pintu gerbang dan mengundurkan diri ke dalam ruangan.
"Budak akan membawa jalan buat kongcu!" ujar Kwik soat kun kemudian.
Dia lantas maju selangkah mendahului Buyung Im Seng ke dalam ruangan lebih dulu.
Tiba di ruangan dalam, tampak cahaya lilin terang benderang menyinari seluruh ruangan, dalam ruangan yang lebah dan luas telah disiapkan lima buah meja perjamuan.
Delapan orang gadis cantik jelita bak bidadari dari kahyangan yang mengenakan baju biru, putih munculkan diri dari ruangan dan menyambut datangnya mereka.
Kwik soat kun maju dua langkah ke samping sambil bisiknya lirih. "Inilah Buyung kongcu!"
Delapan orang gadis berbaju putih itu segera memberi hormat bersama sambil berkata. "Menjumpai kongcu!"
Dengan suara rendah, Kwik soat kun berkata. "Mereka adalah delapan bidadari yang menyelenggarakan nyanyian mereka maupun permainan musik mereka, boleh dibilang tiada taranya di dunia ini, setelah perjamuan diselenggarakan nanti, mereka akan memperlihatkan kebolehannya masing-masing untuk menghibur kongcu."
"Aku tak berani merepotkan kalian semua!" buru-buru Buyung Im Seng menjura.
Delapan orang gadis berbaju putih itu segera balas memberi hormat, sahutnya. "Cukup memperoleh senyuman dari kongcu, kami yang rendah merasa amat bangga!"
Selesai berkata, mereka lantas mengundurkan diri dari kedua belah sisi ruangan.
Kwik soat kun dengan membawa Buyung Im Seng segera mengambil tempat duduk di meja perjamuan utama. Waktu itu Buyung Im Seng ibaratnya orang yang tak berpendirian lagi, dia hanya mendengarkan perkataan orang lain saja.
Sementara itu Kwik soat kun telah berseru dengan suara lantang. "Tamu agung telah tiba, dipersilahkan cici dan adik sekalian memasuki ruangan perjamuan."
Irama musik segera bergema dan dari dua sisi ruangan pun tiba-tiba terbuka dua buah pintu kayu. Terasa pandangan mata menjadi silau, lalu muncullah dua baris gadis cantik yang pelan-pelan berjalan masuk ke dalam ruangan.
Ketika Buyung Im Seng mengalihkan sorot matanya ke depan, tampaklah dua gadis cantik yang munculkan diri itu semuanya bergaun panjang, berbadan indah dan berwajah cantik setiap baris terdiri dari dua belas orang yang langsung menuju ke ruang tengah dengan langkah lemah gemulai.
Ketika dua baris gadis-gadis cantik itu berjalan lewat di hadapan Buyung Im Seng, mereka segera menyingsingkan gaunnya untuk memberi hormat.
Sambil memberi hormat, kata Buyung Im Seng. "Nona Kwik, aku merasa dimanjakan, tolong nona suka memberitahukan kepada mereka agar langsung masuk ke perjamuan saja, tak perlu banyak adat lagi."
Kwik soat kun tersenyum. "Baiklah aku akan menuruti perintah kongcu!"
Dengan memperkeras suaranya, dia berseru. "Para cici dan adik sekalian, Buyung kongcu itu adalah seorang pendekar sejati yang tidak suka segala adat penghormatan, dipersilahkan kalian langsung memasuki meja perjamuan."
Dua puluh empat gadis-gadis cantik itu segera membagi diri dalam tiga meja perjamuan dengan tiap meja perjamuan terdiri dari delapan orang.
Delapan orang bidadari cantik yang merupakan rombongan penghibur itu menempati pula satu meja, dengan begitu meja utama saja yang dibiarkan kosong.
"Kongcu, silahkan masuk ke meja perjamuan!" bisik Kwik soat kun dengan suara lirih.
Diam-diam Buyung Im Seng berpikir. "Tampaknya kedudukan Kwik soat kun dalam perkumpulan Li ji pang tidak rendah."
24 orang gadis dan 8 orang penyanyi berbaju putih hampir semuanya berwajah cantik jelita bagaikan bidadari dari kahyangan, mereka mengurung Buyung Im Seng ditengah arena.
Buyung Im Seng segera celingukan kesana kemari dengan perasaan agak melayang, timbul rasa tak tenang dalam hatinya.
Kwik soat kun mengangkat cawan arak dan tiba-tiba berkata. "Kongcu, kau telah membantu Li ji pang untuk mendapatkan kembali kitab pusaka ilmu pedang kami, atas jerih payah kongcu tersebut, kami segenap anggota Li ji pang dari pangcu sampai ke bawah semuanya merasa berterima kasih sekali, dengan secawan arak ini, aku ingin menyampaikan rasa terima kasih itu, kalau kongcu bersedia pula mengeringkan secawan..."

Lembah Tiga Malaikat (San Seng Men) -  Wo Lung ShenWhere stories live. Discover now