#4

2.3K 23 0
                                    

"Kita menempuh bahaya hanya ingin menyelidiki keadaan musuh untuk menambah pengetahuan kita dalam menyusun rencana besar kita bukan pergi untuk mengadu nyawa, maka kalian berdua mesti mengutamakan keselamatan diri terlebih dulu baru sial menaklukan musuh. Ingat perkataanku ini, nah mari kita pergi!"
Selesai berkata, Nyo Hong-ling lantas mengajak Ki Li-ji untuk buru-buru berangkat meninggalkan tempat itu.
Menanti bayangan tubuh kedua orang itu sudah lenyap dari pandangan mata, Tong Thian-hong dan Buyung Im-seng baru turun tangan untuk menyaru diri, kemudian mencari mayat kedua orang kusir itu, melepaskan pakaian mereka, menggeserkan mayatnya ke tempat lain dan memberi beberapa bacokan luka di tubuh sendiri.
Seusai menyaru dan memeriksa sekejap bahwa tiada titik kelemahan yang terdapat pada diri mereka, kedua orang itu baru membaringkan diri di atas tanah.
"Buyung-heng," bisik Tong Thian-hong, "tahukah kau mengapa nona Nyo suruh kita menyaru sebagai kusir dan bukannya disuruh menyamar sebagai Busu yang mengawal kereta?"
"Menurut pendapat saudara Tong?"
"Mungkin lantaran kedudukan seorang kusir kereta itu terlalu rendah, pengetahuan tentang persoalan dalam suatu kantor cabangpun amat terbatas, maka lebih mudah mengatasi masalahnya daripada kedudukan yang lebih tinggi...!"
"Siaute juga berpendapat demikian."
"Lebih baik kita gunakan kesempatan yang amat singkat ini menganalisa dulu pertanyaan apa saja yang mungkin mereka ajukan, kemudian diatur jawaban yang paling baik agar rahasia kita jangan sampai ketahuan...!"
"Tong-heng, memang amat seksama, sungguh membuat siaute merasa sangat kagum!"
Dengan menggunakan kecerdasan masing-masing kedua orang itu mulai menduga-duga pertanyaan apa saja yang mungkin diajukan lawan, kemudian dicarikan pula jawabannya yang tepat.
Baru saja mereka selesai berunding, tiba-tiba terdengar suara derap kuda yang amat ramai berkumandang datang.
Tempat dimana mereka berdua berbaring dipilihnya tempat yang strategis, sekalipun mata dipentangkan lebar-lebar juga tidak gampang diketahui orang.
Tampak dua ekor kuda dengan cepat menghampiri tempat kejadian itu, kemudian bersama-sama melompat turun dari kudanya.
Orang pertama adalah seorang pemuda berusia dua puluh lima-enam tahunan yang berjubah putih, dia bertangan kosong dan tampak seperti seorang pelajar.
Di belakangnya mengikuti seorang bocah berbaju hijau yang usianya antara enam-tujuh belas tahunan.
Ketika pemuda berbaju putih itu melompat turun dari kudanya tadi, bocah baju hijau itu buru-buru ikut melompat turun dan menerima tali les kudanya, kemudian sambil menuntun dua ekor kuda itu dia berjalan mengikuti dibelakang pemuda berbaju putih itu.
"Tambatkan dulu kuda itu!" bisik pemuda berbaju putih itu dengan suara lirih.
Bocah berbaju hijau itu segera mengiakan dan menambatkan kedua ekor kuda itu di sebatang pohon, kemudian dari atas pelana dia mengambil sebilah pedang dan kemudian menyusul pemuda tadi.
Dengan amat teliti pemuda berbaju putih itu memeriksa mayat-mayat tersebut satu demi satu, ada kalanya dia malah berjongkok sambil memeriksa luka dimulut mayat.
Lambat laun pemuda berbaju putih itu semakin mendekati dimana Buyung-Im-seng berdua pura-pura menggeletak.
Setelah jarak kedua pihak makin mendekat, Buyung Im-seng baru menetapkan bahwa pemuda berbaju putih yang tampak halus itu sesungguhnya memiliki sinar mata yang tajam sekali. Justru karena sinar matanya yang tajam itu, maka pemuda berbaju putih itu kelihatan keren dan diliputi selapis hawa napsu membunuh yang amat mengerikan.
Diam-diam Buyung Im seng merasa terkejut segera pikirnya. "Orang ini jelas bukan manusia baik-baik!"
Sementara itu terdengar pemuda berbaju putih itu berkata dengan suara dingin. "Cara kerja pihak lawan sungguh amat keji, bila tusukan pertama tidak mematikan ternyata tusukan kedua menembusi tempat mematikan dari lawannya, aku sudah memeriksa sembilan sosok mayat, semuanya berada dalam keadaan demikian."
Bocah berbaju hijau itu hanya mengiakan belaka, tak sepatah katapun yang diucapkan.
Mendadak sinar mata pemuda berbaju putih itu menatap ke wajahnya tajam-tajam, kemudian katanya "Di sana ada orang yang masih hidup, cepat bopong kemari!"
Bocah berbaju hijau itu mengiakan dan buru-buru lari ke depan untuk membopong tubuh Buyung Im-seng.
Sementara itu Buyung Im Seng sudah menutup sebagian nadinya membuat pernapasan menjadi lemah, agar orang mengira dia sedang menderita luka yang parah.

Lembah Tiga Malaikat (San Seng Men) -  Wo Lung ShenDove le storie prendono vita. Scoprilo ora