Jilid 15 (Tamat)

757 20 0
                                    

Bentuk pedang itu kuno antik.

Di mata pedang yang kelihatan antik itu terukir empat huruf 'Hiap Gi Bu Siang' yang berarti jiwa satria tiada duanya.

Pedang itu terbual dari emas murni, jelas bukan senjata untuk membunuh orang.

Hanya sebagai lambang hormat mereka terhadap Lian Shia-pik, maka nilai sesungguhnya dari pedang itu tidak terletak dari bobot emasnya, tapi empat huruf yang terukir di batang pedang itu.

'Hiap Gi' atau pendekar pembela kebenaran, jelas makin surut saja nilai luhur kedua huruf itu, apalagi ditambah 'Bu Siang' yang berarti tiada duanya.

Dalam kesan sanubari manusia umumnya, empat huruf itu hanya setimpal dianugrahkan kepada Lian-cengcu yang menjadi pemilik Bu-kau-san-ceng.

Malam telah larut.

Dentam tambur dan hingar-bingar gembreng makin jauh, lalu tak terdengar lagi.

Orang banyak yang tadi hadir dalam ruang besar ini sudah bubar. Dalam ruang besar itu kini tinggal Lian Shia-pik seorang dan sebuah lampu.

Dia kelihatan lelah, seperti merasa sebal dan resah oleh keramaian tadi.

Perlahan ia menyipitkan mata, tangannya mengelus perlahan keempat huruf yang terukir di batang pedang, tangannya enteng elusannya lembut, seperti mengelus di dada sang kekasih yang mempesona.

'HIAP GIBU SIANG'.

Ia tertawa.

Bukan tawa riang, gembira, bukan tawa yang membangkitkan semangatnya, tapi seringai tawa yang mengandung cemooh dan hina.

Angin malam berhembus masuk lewat jendela, hawa dingin mulai merangsang badan.

Jari-jari Lian Shia-pik yang mengelus pedang mendadak berhenti, seringai tawa yang menghias mukanya juga seketika lenyap. Tapi nada suaranya tetap tenang dan mantap, "Siapa yang berdiri di kebun?"

"Tio Pek-ki." seorang menjawab di luar.

Lian Shia-pik memanggut, "Masuklah."

Dari gerombolan rumpun kembang, Tio Pek-ki beranjak keluar, dengan langkah enteng perlahan menghampiri dengan sikap hormat dan prihatin.

Dia. Siapa lagi kalau bukan Tio Toa, si tukang perahu yang meninggalkan Siau Cap-it Long di kedai arak.

Cahaya lampu menyinari pedang emas, cahaya yang memancar menerangi seluruh lingkup ruang besar itu.

Tio Pek-ki jelas sudah melihat pedang emas itu, tapi dia menunduk pura-pura tidak melihat.

Lian Shia-pik seperti sedang menggumam, "Inilah tanda bukti betapa besar belas kasih para tetua kampung, mestinya aku tidak berani menerima, namun kecintaan itu sungguh sukar untuk aku tolak."

"Bagi seluruh warga perkampungan kita, penghargaan ini rasanya pantas sekali. Tanpa kebesaran dan wibawa Cengcu yang disegani seluruh insan persilatan, mana mungkin penduduk perkampungan ini dapat hidup aman tenteram dan sentosa, penghargaan sekecil ini rasanya cukup setimpal."

Tio Pek-ki mengobral omongan, seolah-olah mewakili para sesepuh kampung, dan pedang emas itu adalah anugrah untuk Bu-kau-san-ceng layaknya.

Lian Shia-pik tertawa-tawa, "Yang benar, aku ini juga orang biasa, mana berani mendapat anugrah Hiap Gi Bu Siang."

Tio Pek-ki masih ingin mengucap rangkaian kata pujian yang lebih muluk, entah kenapa mendadak tenggorokan seperti tersumbat hingga tak mampu bicara lagi. Sebab ia sadar, sorot mata Lian Shia-pik yang tajam dan dingin sedang menatapnya lekat.

Bentrok Antar Pendekar - Khu LungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang