Jilid 2

1.3K 16 0
                                    

 Wanita yang satu ini memang mirip angin, sepak terjangnya sukar diraba, bayangannya ternyata lenyap tak keruan peran.

Sumber air bagai rantai perak mengalir deras dari pucuk gunung.

Cahaya senja memancar benderang menguning emas.

Hong Si-nio duduk di atas batu besar, sepasang kakinya direndam dalam kubangan air sumber nan bening dingin. Sepasang kakinya dirawat baik, putih mulus tanpa cacad sedikit pun. Bila mengawasi sepasang kaki sendiri, Hong Si-nio sering merasa bangga, apalagi para lelaki, betapa senang hati mereka mengawasi kaki ini.

Waktu menyingkir tadi, tanpa sengaja kakinya tergores batu-batu runcing dan ranting pohon berduri. Begitu menyentuh air, luka-luka itu terasa perih, hati ikut terasa mendelu.

Le Jing-hong bukan lelaki yang menyebalkan, tidak bermaksud jahat terhadap dirinya, malah menolong jiwanya. Tapi juga tidak bermaksud baik. Gelagat menjelaskan bahwa kedatangannya jelas karena dirinya, mungkin akan membawanya pula. Umpama dia mampu memukul jatuh Jin-siang-jin menjadi Jin-he-jin (orang di-bawah orang), apa faedahnya bagi dirinya?

Yang pasti Hong Si-nio tidak ingin melihat si cacad itu bertelanjang.

"Bahwa dua orang berhantam itu bukan manusia baik, kenapa tidak kubiarkan mereka cakar-cakaran, gigit menggigit," demikian batin Hong Si-nio, begitu ada kesempatan diam-diam ia ngacir pergi.

Siapa yang kenal Hong Si-nio pasti yakin bahwa dia adalah perempuan pintar. Belum pernah salah menganalisa persoalan yang dihadapi, maka sampai usia setua itu, belum pernah ada pria yang mampu melepas pakaiannya.

Bagi Hong Si-nio hari ini memang serba salah, persoalan yang dihadapi hari ini sungguh menyebalkan, terasa semua persoalan itu amat aneh.

Dingin air sumber merembes naik lewat telapak kaki, membuat hati ikut menjadi dingin.

Kehadirannya di bukit batu jelas bukan kebetulan, dia juga belum pernah bercerita pada siapa pun bahwa dirinya akan ke tempat ini. Sepak terjangnya seperti angin lalu, tiada seorang pun dapat menerka pikirannya.

Kenyataan ada tiga pihak, katakan tiga orang yang datang mencari dirinya di sini. Seperti Hoa Ji-giok, Jin-siang-jin dan Le Jing-hong.

Darimana mereka tahu bahwa dirinya berada di tempat itu? Bagaimana bisa tahu kalau dirinya akan ke sini?

Selama ini Hong Si-nio pintar menikmati hidup, barang apa saja ia makan, hanya tidak kuat makan derita.

Orang yang tidak tahan derita, ilmu silatnya pasti tidak tinggi. Untung dia cerdik pandai, ada kalanya amat buas, namun sepanjang jalan hidupnya belum pernah menanam permusuhan besar dengan siapa pun.

Di situlah letak kemahirannya, di samping pintar ia cantik, maka ia banyak bersahabat dengan teman yang punya kekuatan. Bila sedang mengumbar marah, galaknya bukan main, mirip induk anjing beranak. Saat lembut, sejinak merpati. Kadang jenaka bagai si upik, lain kejap ia bisa selicin rase. Kalau tidak benar-benar perlu, siapa mau cari perkara kepadanya. Kenyataan ada tiga orang serempak mencari dirinya, tiga orang berbeda, namun ketiga orang ini amat kosen dan susah dilayani. Dia tahu seorang yang tega membuntungi kaki dan tangan, bila perlu mencari cewek, pasti bukan hanya ingin menelanjanginya saja.

Begal besar yang sudah tiga puluh tahun menyembunyikan diri, bersikap sontoloyo di hadapan cewek, pasti bukan lantaran perempuan itu berparas cantik.

Lalu untuk apa mereka serempak mencari dirinya? Setelah dipikir-pikir, Hong Si-nio menarik satu kesimpulan. Lantaran Siau Cap-it Long.

Ya Siau Cap-it Long yang romantis itu, kenapa selalu mencari gara-gara, mengundang banyak permusuhan? Melibatkan banyak tokoh persilatan, berseru bukan demi kepentingan pribadi, tidak jarang justru untuk membela kebenaran. Seolah-olah perjaka ini memang dilahirkan untuk mengundang setori bukan hanya orang lain mencari setori padanya, kadang ia sengaja mencari setori untuk dirinya sendiri.

Bentrok Antar Pendekar - Khu LungWhere stories live. Discover now