XV: The Second Beginning

86 10 0
                                    

Jasmine PoV

Sudah dua hari ini Gabe dan Sue tinggal di rumahku. Entah karena mereka memiliki alasan lain selain menemani kegalauanku karena David dan Mikail atau memang hanya itu alasannya. Tidak ada yang kami lakukan selain belajar untuk ujian akhir sekolah minggu ini. Hanya belajar, dan berbincang sedikit tentang David.

"Jika aku tahu ia homoseksual, aku akan membencinya." Ucap Gabe tegas.

"Gabe, all lives matter. Kau tidak boleh rasis begitu." Bela Sue yang bagaimanapun tetap menyukai David. Aku yang terdiam. Bingung memihak ke yang mana. Tadi malam ketika gerimis membasahi jendela kamarku--saat Sue dan Gabe sudah tertidur pulas--David meneleponku. Dari nada bicaranya sudah ku pastikan ia sedang berada dalam titik yang luar biasa bahagia. Ia sudah mempersiapkan kepindahannya ke SF. Dan itu bagus untuk mereka. Aku turut senang, setidaknya ia sudah mengatakan yang sejujurnya padaku.

Tak lupa ia menanyakan keadaanku, yang bulan-bulannya sudah sekitar dua minggu setelah tragedi di cafe La Rosa tersebut. Aku sudah tak terlalu menyayangkan tentang apa yang terjadi pada kami. Bagaimanapun ia tidak sepenuhnya bersalah. Ada aku yang selalu merasa baper karena kebaikannya yang sudah aku salah artikan.

Malam itu semuanya terasa seperti nyata kembali. Semuanya terulang dari awal. Titik hujan yang mengundangku menilik jendela kamar, yang langsung menghadap ke jendela kamar Cameron.

Cameron. Cameron Alexander Dallas. Orang yang sejak dulu selalu aku inginkan. Dan rasanya masih seperti itu. Apalagi ketika David menendangku begitu saja, rasanya satu-satunya orang yang ku butuhkan hanyalah Cameron. Dari kaca jendela kamarku yang berembun, aku masih bisa melihat lampu kamar Cameron yang masih menyala. Oh, aku sangat merindukan masa di mana hampir setiap malam aku habiskan dengan berteriak mengobrol dengan Cameron tanpa perantara. Hanya ada jalan yang basah yang memisahkan kami.

Keadaannya kembali seperti itu.

Kuusap embun yang menutupi jendela kamarku. Dari sini terlihat jelas Cameron yang sedang duduk di kusen jendelanya. Posisi yang sama persis saat dulu kami berbincang bersama. Good 'ol days. Aku membuka jendela kamarku. Kini semakin jelas wajah Cameron yang hanya disinari oleh lampu jalan di tengah hujan rintik-rintik. Ia menghadapkan mukanya ke jalan, menunduk. Seperti ada sesuatu yang sedang ia pikirkan, sesuatu yang penting.

Aku menarik napas berat.

"Cameron Dallas!" 

Ia menoleh langsung ke arahku. Rasanya setiap milidetik mata kami bertemu, seperti membangkitkan lagi perasaan yang sudah susah payah ku kubur bersama banyak kenangan pahit juga.

Perlahan senyumnya terbentuk. Ia melambaikan tangannya. "Kau OK?" Tanyaku berteriak. "Ya, ya. I'm OK!" Ia menjawab. Aku tersenyum lega. Otot-otot tegangku kemudian melemas beriringan dengan pikiranku bahwa ini akan menjadi permulaian kedua. 

"Sudah lama memperhatikanku?" Tanyanya dengan tawa kecil.

Aku tersenyum. "Ya, ya. Hahahaha."

"Kau mau jalan-jalan, Jas? Aku kesulitan tidur." Katanya. Seketika saat itu juga, aku serasa seperti dibawa pergi, mengambang terbang di awan, seperti banyak sekali syaraf otakku yang kembali tersambung. "Yeah, I'll be right there!"


x x x


maafin banget ya kalian buat short updates sama beberapa kendala kaya telat publish atau apapun itu:( banyak typo atau papaun itu, aku mnta maaaff sekaligus minta doa bentar lagi bakal ngehadapin beberapa ujian sama seleksi masuk ptn, semoga lancar. makasi

x ara x

Tear In My Heart // cameron dallasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang