sepuluh

1.5K 77 0
                                    


Esok harinya sampai aku berangkat sekolah, Mas Idad belum siuman. Aku terpaksa berangkat sekolah walau sebenarnya ingin menunggu Mas Idad sampai siuman. Sesampainya di sekolah, aku baru ingat bahwa aku belum memberitahu sahabatku. Aku menenangkan diriku terlebih dahuu sebelum memasuki kelas.

"Assalamua'alaikum.." sapaku pada ketiga sahabatku yang selalu sudah datang duluan.

"Wa'alaikumussalam..' jawab mereka. Aku tersenyum mencoba untuk terlihat biasa saja. Namun, sepertinya mereka tahu bahwa aku tidak baik-baik saja melihat kantung mataku.

"Kamu nangis semalem, Fir?" tanya Fia.

"Iya, kamu kenapa e? Kantung matamu kelihatan banget.." sambung Lili. Tiwi menunggu jawabanku.

"Uhm, itu.." aku memikirkan kalimat yang tepat untuk memberitahu mereka, "Mas Idad kecelakaan kecil, tangan kanannya patah, masuk rumah sakit.." jelasku singkat.

"Innalillahi.."

"Jadi kemarin Abimu jemput kamu buat ke rumah sakit?" tanya Tiwi yang aku jawab dengan anggukan.

"Kok bisa?" tanya Fia dan aku hanya menggeleng.

"Mas Idad belum siuman waktu aku berangkat tadi.."

"Terus, kamu gak papa, Fir?" giliran Lili yang bertanya.

"Kemarin, sih, lumayan parah. Tapi sekarang udah jauh lebih baik, kok..' jawabku menenangkan mereka. Baru saja mereka kan bertanya lagi, namun bel masuk sudah berbunyi.

"Temen-temen, hari ini Ustadz Asep lagi dinas di luar," Rani, ketua kelasku berdiri di depan kelas, "Jadi kita dapet tugas di suruh bikin surat pribadi terserah buat siapa aja. Di kumpulin besok setelah surat itu ditandatangani oleh orang yang kamu tulisin surat itu.."

"Berarti kalau aku kasih buat kamu, kamu harus tanda tangan dulu, baru di kumpulin?" tanya salah satu temanku memastikan. Rani mengangguk dan kelas mulai ramai. Aku terdiam menatap keluar jendela memikirkan siapa yang akan menandatangani suratku.

"Kalian nulis buat siapa?" tanyaku pada ketiga sahabatku. Fia menggeleng, Tiwi mengangkat bahu, sedangkan Lili sepertinya sudah menemukan orang yang tepat. Tapi Lili tidak mau memberitahu sampai nanti dia selesai menulis surat. Aku menghela nafas.

"Fir, kamu bikin surat buat Mas Idad aja." Celetuk Fia tiba-tiba. Aku langsung menoleh ke arahnya dengan tatapan berbinar.

"Oh iya! Thank's Fi.." seruku bersemangat. Aku langsung mengambil kertas yang teah disediakan di meja guru dan mulai merangkai kata-kata.

Dear, brotherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang