sembilan

1.5K 83 0
                                    

Selama perjalanan tidak ada percakapan antara aku dan Abi. Sampai akhirnya kita turun di rumah sakit dekat rumahku, aku bersuara.

"Kita mau jenguk siapa, Bi?" tanyaku. Abi pun hanya tersenyum tipis dan merangkulku, mengajakku masuk. Aku terheran-heran dengan sikap Abi. Aku mengamati setiap lorong yang kita lewati dengan rasa penasaran yang aneh. Entah kenapa semakin masuk ke dalam rumah sakit, rasanya malah semakin ingin pulang. Seperti berat dan tidak ingin menjenguk siapa pun orang yang akan kita jenguk.

'Okay, ini namanya Firasat buruk. Positive thinking, Fira..' ucapku dalam hati untuk menenangkan diriku sendiri. Aku menepis semua kemungkinan-kemungkinan terburuk yang berkecamuk di otakku.

Namun, tepat saat Abi berhenti di depan pintu kamar, sepositif apapun yang aku pikirkan, tidak akan bisa menenangkanku lagi. Aku membaca nama pasien yang terpampang jelas di pintu kamar dan aku langsung menatap Abi tidak percaya. Abi hanya tersenyum menenangkan sambil mengajakku masuk.

"Mas Idad udah nungguin kamu, sayang.." ucap Abi. Abi membuka pintu itu dan tubuhku menegang detik itu juga. Aku tidak bisa melangkahkan kakiku sendiri, kecuali Abi menarikku masuk ke kamar itu. Aku melihat Umi sedang duduk tersenyum ke arahku di samping tempat tidur. Matanya terlihat sembab. Dan orang yang berada di tempat tidur itu adalah Mas Idad dengan mata tertutup. Aku menelan ludahku, menatap Umi dan Abi untuk meminta penjelasan.

"Mas Idad baik-baik aja, sayang.." Umi mengajakku duduk sampingnya. Aku memperhatikan Mas Idad yang terbaring lemah, dengan jarum infus di tangannya. Juga sesuatu yang menampung urinnya. Tubuhnya tertutup oleh selimut, namun tangan kananya terlihat dibalut dengan gypsum.

"Ma-Mas Idad.. ke-kenapa, Mi?" tanyaku dengan suara yang tercekat. Umi mengelus kepalaku lembut.

"Umi juga gak tahu pastinya. Tadi ada telepon dari rumah sakit yang ngasih tau kalau Mas Idad kecelakaan.." jawab Umi, "Cuma patah tulang di tangan kanannya, Alhamdulillah yang lain bak-baik aja." Mataku mulai berkaca-kaca membayangkan kecelakaan yang dialami oleh Mas Idad.

"Tadi jam 4 baru selesai operasi, sampai sekarang masih belum sadar.." Abi memperjelas. Aku pun hanya bisa diam menatap Mas Idad.

"Kira-kira.. kapan Mas Idad siuman?" tanyaku.

"Paling cepet setengah samapi satu jam, tapi bisa yang lebih dari itu..." jawab Abi. Aku terdiam lagi.

Sungguh, rasanya masih sulit dipercaya bahwa orang yang sedang berbaring dihadapanku adalah kakak yang sangat aku sayangi. Kakak yang selalu narsis dan sering menggodaku atau menjahiliku. Kakak yang beberapa waktu lalu menjauh serta membuatku sakit hati. Namun tetap saja, orang yang berbaring di hadapanku sekarang adalah kakak yang sangat aku rindukan kasih sayangnya. Senyum serta tawanya yang menghangatkan. Kakak yang walaupun telah menyakitiku untuk pertama kalinya, namun tetap aku sayangi. Aku tidak akan pernah bisa membenci kakaku.

"Fira, ikut Abi pulang dulu, mau ya?" ucap Umi, "Sebentar lagi Maghrib, pulang, sholat, terus bawain baju buat Umi sama Mas Idad, ya?" pinta Umi. Aku menggigit bibir sambil berpikir. Aku belum mau meninggalkan Mas Idad, apalagi dalam kondisi belum siuman.

"Iya, Insya Allah nanti waktu balik, Mas Idad udah siuman.." tambah Abi. Setelah menatap Mas Idad lama, akhirnya aku mengangguk.

"Oh, sama beli makan juga ya, Bi.." minta Umi. Abi pun mengangguk, lalu aku dan Abi keluar kamar dan menuju tempat parkir lagi untuk pulang ke rumah. Sepanjang jalan ke rumah aku hanya diam memandang ke luar jendela. Tatapanku kosong. Abi hanya bertanya sekali mau makan apa yang aku jawab dengan terserah. Abi yang tahu bahwa aku sedih, menasihatiku.

"Abi tahu kamu sedih, sayang. Tapi, isilah kekosonganmu itu dengan banyak berdo'a pada Allah, jangan melamun kayak gitu. Nanti jauh lho, sama Allah." Aku tertegun mendengarnya dan langsung beristighfar.

Sesampainya di rumah, aku segera masuk kamar dan membersihkan badan, serta berwudhu. Tepat saat aku keluar kamar mandi, adzan Maghrib berkumandang. Dengan cepat, aku memeriksa jadwal pelajaran untuk esok hari apakah ada PR. Setelah memastikan tidak ada PR yang harus dikumpulkan, aku segera mengambil mukena dan menuju musholla rumahku. Ternyata Abi sudah menungguku di sana.

Ketika sholat, sambil mendengarkan bacaan Abi yang selalu membuat hatiku tenang, aku teringat Mas Idad. Kenangan-kenangan tentang Mas Idad mulai bermunculan satu-satu sehingga membuat hatiku terenyuh. Aku tak kuasa menahan air mataku lagi. Bahkan, ketika berdo'a aku sudah menangis tersedu-sedu. Sebut saja aku berlebihan. Kakakku hanya kecelakaan dan tangan kanannya patah, serta belum siuman sampai sekarang, namun tangisku tak henti-hentinya mengalir.

Abi pun mengajakku berdo'a agar Mas Idad segera siuman dan baik-baik saja. Setelah itu Abi memelukku dan menasihatiku lagi.

"Mas Idad baik-baik aja, sayang. Sebentar lagi siuman, kok. Gak baik berlebihan dalam suatu hal.." kata Abi.

"Fira sayang Mas Idad, Bi. Aku takut kehilangan Mas Idad.." ucapku di sela isak tangisku yang mulai reda.

"Iya, sayang. Umi sama Abi juga sayang sama Mas Idad.." Abi mengelus punggungku.

"Mas Idad sebentar lagi siuman, kan? Aku belum minta maaf sama Mas Idad.." ucapku sedih. Hal itu lah yang paling mebuatku merasa bersalah, sebenarnya. Sudah lama sekali, bahkan sepertinya aku tidak ingat kapan terakhir mengobrol dengan Mas Idad. Aku baru tersadar bahwa Allah bisa mengambil nyawa hamba-Nya kapan saja, sehingga aku merasa bersalah telah membuat Mas Idad menjauh dariku. Aku tidak ingin Mas Idad pergi sebelum aku meminta maaf dan berbaikan. Aku ingin memperbaiki hubungan kita, kembali seperti semula.

Tak lama kemudian tangisku benar-benar reda dan aku membantu Abi menyiapkan baju untuk Umi dan Mas Idad. Setelah itu kita langsung menuju rumah sakit lagi dengan mampir membeli makan dulu. Adzan Isya berkumandang setibanya aku dan Abi di rumah sakit. Kita pun memilih untuk sholat Isya terlebih dahulu di masjid sebelah rumah sakit.

"Assalamu'alaikum.." ucap Abi ketika masuk kamar inap Mas Idad.

"Wa'alaikumussalam.." jawab Umi. Aku masuk dan mencium tangan Umi.

"Umi sekarang istirahat dulu, ya. Mandi, makan, terus sholat. Gantian aku sama Abi yang jagain Mas Idad.." pintaku. Umi tersenyum dan mengangguk.

"Makasih, sayang.." ucap Umi sambil mengecup kepalaku. Aku segera duduk di kursi yang Umi tempati tadi. Aku pun mengatur nafasku agar tenang di samping Mas Idad. Aku menatap wajah Mas Idad yang terlihat tenang, namun juga lelah dan lemah. Perlahan aku menggenggam tangan kiri Mas Idad dan tersenyum getir.

"Mas, cepet bangun, ya. Fira bakal nungguin Mas Idad sampe siuman, jam berapapun itu. Aku mau minta maaf ke Mas Idad. Aku takut kehilangan Mas Idad. Alhamdulillah Mas Idad masih baik-baik aja, gak lebih parah dari ini.." ujarku pelan sambil menahan air mata di pelupuk mataku, "Mas Idad tau gak, aku kangen banget sama Mas Idad. Aku cemburu karena Mas Idad gak peduli sama aku lagi. Aku sedih waktu hubungan kita mulai merenggang, tapi aku juga merasa bersalah. Gara-gara aku, Mas Idad jadi tambah menjauh dan aku gak mau memperburuk hubungan kita.."

"Tapi, aku tetep sayang, kok, sama Mas Idad. Cepet bangun, ya, Mas.." air mata yang mulai menetes, segera aku hapus. Aku tidak mau menangis lagi. Aku sudah berdo'a agar Mas Idad cepat sadar dan aku hanya bisa menunggu. Lalu, aku yakin Mas Idad akan baik-baik saja. Seperti kata Abi dan Tiwi yang mengingatkanku untuk selalu berpositive thinking.

Dear, brotherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang