tiga

2.2K 87 7
                                    

"Fiaaa, kabar gembira untuk kamu, nih.." aku meletakkan tasku di kursi kosong samping Fia. Tiwi dan Lili yang sudah datang dan duduk dibelakang bangku kami penasaran dengan kabar yang aku bawa.

"Apaan, Fir?" Aku memposisikan dudukku menyamping sambil bersender di tembok agar Tiwi dan Lili juga ikut mendengar.

"Mas Idad udah move on dari kakaknya ina.." laporku. Mendengar kata Mas Idad, Fia langsung nampak bersemangat. Sedangkan Tiwi hanya mendengus dan Lili tersenyum kecil.

"Serius? Sama siapah? Orangnya kayak gimana? Cantik gak? Kamu pernah ketemu?" Fia langsung menodongku dengan berbagai pertanyaan. Aku pun terkekeh dan hanya mengedikkan bahu.

"Tau, sih. Temen sekelas, katanya. Tapi waktu aku liat fotonya, entah kenapa ada feeling gak enak gitu" ungkapku.

"Feeling kayak gimana, Fir?" Giliran Lili yang bertanya. Lili memang lebih banyak tahu tentang urusan asmara seperti ini dibanding kita bertiga.

"Gak tau, tapi aku ngerasa mbaknya bukan anak baik-baik. Kamu tahu kan, Li, yang sejenis Della dkk.."

Lili pun langsung mengerti maksudku.

"Aah.. bilangin kakakmu, hati-hati. Jangan sampe kakakmu pergi dan kembali dengan lubang di hatinya.." ujar Lili. Aku pun mulai khawatir dan menatap mereka bertiga satu-satu. Tiwi hanya mengedikkan bahu karena tidak terlalu peduli tentang masalah asmara, sedangkan Fia juga merasakan hal yang sama denganku.

"Bilangin Mas Idad ya, Fir. Nanti aku ikut sedih kalau hati Mas Idad berlubang.." aku pun tersenyum mendengarnya.

"Oh, iya.." aku teringat sesuatu membuat suasana kembali dan mereka bertiga penasaran lagi. Aku pun menceritakan kepada mereka dengan sedikit malu.

"Uhm, kemaren Mas Idad bilang ada anak laki-laki yang liat aku dengan tatapan yang beda.." aku melihat ekspresi mereka, terutama Tiwi yang terlihat mendengus, memang dari awal Tiwi malas membicarakan hal-hal berbau anak lelaki. Aku pun meringis dan melanjutkan, "katanya Mas Idad, orang itu suka aku.."

"Ciyeee.." Lili langsung menggodaku.

"Siapa, Fir?" Tanya Fia. Aku menggigit bibirku ragu.

"Kayaknya, sih.. Hafidh.."

Tiwi pun mengernyit.

"Hafidh yang itu? Temen SD mu itu?" Fia memastikan.

"Bukannya kamu emang deket sama Hafidh, ya?" Tiwi menambahkan.

"Ciyeee.." Lili menggodaku lagi. Mungkin saat itu pipiku sudah merah merona. Aku mengangguk pelan.

"Ih, tapi aku gak bener-bener percaya. Tau kan Mas Idad sukanya ngaco gitu.."
Mereka pun tertawa. Entah karena melihatku salah tingkah atau mengerti sifat Mas Idad yang suka ngaco itu.

"Eh, tapi kamu masih suka sama Hafidh gak sih?" Fia memastikan lagi. Aku pun merasa seperti tertangkap basah.

"Oohh.. jadi kamu seneng ya ternyata cintamu gak bertepuk sebelah tangan?" Entah kenapa Lili suka sekali menggodaku seperti itu.

"Selamat, Fir.." ucap Tiwi dengan senyum penuh arti. Aku pun tidak bisa menjawab dan menyembunyikan perasaanku yang sangat malu.

"Panas yah.." komentarku sambil mengibaskan tanganku. Mereka pun tertawa tepat saat bel masuk berbunyi.

Sekilas info saja. Sebenarnya aku memang baru saja menyukai Hafidh. Baru saja. Kemarin saat Mas Idad memberitahuku tentang kemungkinan Hafidh yang menyukaiku, jantungku langsung berdegup kencang. Aku benar-benar tidak menyangka Hafidh memilki perasaan yang sama denganku, jika apa yang dikatakan Mas Idad benar. Aku mati-matian menyembunyikan perasaanku di hadapan Mas Idad kemarin. Dan yang membuatku tambah senang adalah aku memang cukup dekat dengan Hafidh akhir-akhir ini. Namun karena aku tau batasan antara pergaulan laki laki dan perempuan -wks- aku tidak pernah menghubungi Hafidh duluan. Aku berusaha untuk selalu menahan perasaanku dan hanya membalas pesan dari Hafidh seperlunya.

Oh iya. Setelah mendengar cerita Mas Idad kemarin, sebenarnya aku sedikit khawatir kalau proses pendekatan Mas Idad berhasil. Walaupun aku senang Mas Idad sudah move on, tapi aku tidak ingin Mas Idad akan berpacaran dengan Mbak Zana pada akhirnya. Aku takut kasih sayang Mas Idad padaku akan terbagi. Tentang Mbak Zana yang kata Lili termasuk sejenis Della dkk juga membuatku khawatir. Lagipula masih ada alasan lain kenapa aku tidak ingin Mas Idad berpacaran dengan Mbak Zana itu. Umi melarang aku dan Mas Idad berpacaran sampai lulus kuliah. Yah, walaupun rasanya tidak mungkin aku akan pacaran karena aku sudah sadar dengan larangan dari Allah tentang hal itu juga. Aku pun hanya bisa berharap bahwa Mas Idad akan diberikan jalan yang terbaik.

Dear, brotherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang