enam

1.6K 80 0
                                    

Keesokan harinya aku segera memasuki kelas dengan wajah yang lebih cerah.

"Ada good news, Fir?" Tebak Fia sambil berdiri, memberi jalan masuk untukku. Senyumku mengembang semakin lebar.

"I have a good plan, sist.." ucapku riang. Aku menaruh tasku, lalu duduk menghadap ketiga sahabatku seperti biasa.

"Kemaren Mas Idad ngajak aku makan di warung mie yang penyajiannya sama kayak bungkusnya.." ceritaku.

"Oh, yang di deket minimarket itu ya?" Lili memastikan. Aku mengangguk.

"Wah, akhirnya Mas Idad ngajak makan lagi.." ujar Fia. Aku mengangguk lagi.

"Terus?" Tanya Tiwi.

"Terus kemaren aku curhat sama Umi juga akhirnya. Nah, ternyata Umi udah tau Mas Idad pacaran. Terus kemaren aku sadar bahwa selama ini aku belum melakukan apa pun untuk Mas Idad.." lanjutku.

"Uhm, maksudnya? Emang kamu harus ngapain?" Tanya Fia.

"You know, selama ini aku cuma mementingkan perasaanku. Padahal kalau aku beneran sayang sama Mas Idad, seharusnya aku bukannya malah ikut cuek sama Mas Idad, tapi juga mengingatkan dan berusaha memgembalikan Mas Idad ke jalan yang benar.." jawabku. Mereka pun terlihat mengerti dan setuju.

"Oh, terus kalian inget kan, Ustadzah Yuni pernah bilang kalau kita melihat kemungkaran, ingatkan dengan perbuatan, lisan, dan doa. Intinya sih gitu, iya kan?"

"Iya juga ya.." ucap Tiwi. Aku pun tersenyum.

"Btw, terus apa rencanamu?" Tanya Lili.

"Uhm, nanti waktu makan aku mau coba bicara baik-baik dulu sama Mas Idad.." jawabku.

"Oalah, kirain rencana mau ngelabrak Mbak Zana, wkwk"

"Yaelah, fi. Gak gitu juga kali. Nanti yang ada malah gantian aku yang dilabrak.."
Kita pun tertawa dan tepat saat itu bel masuk berbunyi.

Sepulang sekolah, aku dan ketiga sahabatku sedang duduk menggembel di samping kantin menunggu jemputan usai sholat ashar.

"Fir, itu Mas Idad kan?" Fia memberitahu sambil menunjuk motor yang baru berhenti di depan masjid.

"Ah iya, aku duluan yaa" aku berdiri mengambil tas serta helmku.

"Oh iya, jangan lupa doain semoga nanti lancar.." pintaku sambil menyalimi mereka satu per satu.

"Good luck, Fir" ucap Lili dan Tiwi.

"Salam buat Mas Idad ya, Fir. Bilangin kalaupun udah putus, jangan lupa kalau Mas Idad masih punya fans setia.." ujar Fia. Aku pun terkekeh. Setelah itu aku mendekati Mas Idad yang sudah siap berangkat.

"Dapet salam, Mas, dari fans katanya.." kataku sebelum naik ke boncengan. Mas Idad mendengus kecil.

"Temenmu yang tembem itu ya?" Tebak Mas Idad. Aku menahan tawa karena ternyata Mas Idad cukup peka dengan Fia. Tak lama setelah aku duduk, Mas Idad menjalankan motornya.

Perjalanan dari sekolahku ke warung mie yang dimaksud cukup cepat, hanya memakan waktu 3 menit. Warungnya terlihat cukup ramai ketika kita sampai.
Aku mengikuti Mas Idad masuk dan duduk di dekat pintu.

"Mau yang mana?" Tanya Mas Idad. Aku melihat buku menu sambil melihat harganya.

"Uhm, traktir kan?" Mas Idad melihatku sekilas lalu mengangguk.

"Goreng biasa aja.."

"Mas, rendang satu sama goreng biasa satu.." pesan Mas Idad. Pelayan itu mengangguk dan pergi.

"Mas.." panggilku pelan. Mas Idad sedang asyik dengan HP nya.

"Kenapa?" Tanyanya tanpa mengalihkan pandangannya dari HP.

"Bisa minta perhatiannya sebentar?" Ucapku tegas seperti mbak mbak judes. Mas Idad mengernyit dan melihatku.

"Kenapa sih?" Tanyanya lagi.

"Kenapa Mas Idad pacaran?" Tanyaku.

"Bukan urusanmu" jawabnya cuek.

"Mas Idad mikir gak apa yang akan terjadi ketika Mas Idad pacaran?" Tanyaku lagi.

"Emang kenapa?" Tanya Mas Idad seperti tidak peduli.

"Mas Idad tau kan pacaran itu mendekati zina? Udah dilarang sama Allah." Ucapku.

"Kamu aja yang belum pernah ngerasain pacaran.." balas Mas Idad.

"Aku bisa membayangkannya. Rasanya diberi perhatian lebih dan rasanya disayangi. Aku pernah merasakan hal itu.." balasku. Mas Idad menaikkan satu alisnya.

"Rendang satu dan goreng biasa satu kan mas?" Seorang pelayan menyela kami. Mas Idad mengiyakan dan memberikan pesananku.

"Makasih mas.." ucap Mas Idad dan pelayan itu pergi.

"Hafidh ya?" Tebak Mas Idad.

Deg. Sepertinya Mas Idad memang tau ada sesuatu antara aku dan Hafidh. Aku hanya diam.

"Hafidh gak nembak kamu, gitu?"

"Aku tolak.."

"Ck gengsi doang. Nyesel nanti." Komentar Mas Idad.

"Enggak. Aku tolak dia dan jelasin kalau azab Allah sangat pedih untuk orang yang melanggar aturannya. Apalagi dia anak yang paham agama juga." Mas Idad hanya diam memakan mienya.

"Kenapa Mas Idad pacaran? Mas Idad bisa tanggung jawab di hadapan Allah nanti?" Tanyaku.

"Terserah sih. Urusin aja dirimu sendiri. Jangan nyesel udah nolak Hafidh"

Aku agak speechless mendengar jawaban Mas Idad.

"Salah, ya, kalau aku cuma mau ngingetin dan gak mau Mas Idad mendapat dosa lebih banyak lagi?"

"Emang kamu siapa ngatur-ngatur hidupku? Umi aja gak masalah aku pacaran" bentak Mas Idad cukup keras sampai cukup membuatku kaget.

"Bukannya Umi gak masalah. Umi pengen Mas Idad sadar kalau Umi percaya Mas Idad gak bakal pilih jalan yang salah. Mas Idad mau mengkhianati kepercayaan Umi?" Ucapku agak bergetar tanpa aku sadari.

"Ya udah sih, makan aja. Urusin hidupmu sendiri dulu, baru orang lain." Ucap Mas Idad membuatku diam tak berkata apa apa lagi. Terutama ketika Mas Idad melanjutkannya dengan suara yang kecil.

"Anak kecil aja, gatau apa apa" Aku pun menggigit bibirku menahan tangis dan dadaku yang mulai sesak. Dengan nafsu makan yang sudah hilang, aku memakan mie ku.

Aku dan Mas Idad selesai makan dan keluar dari warung itu dengam suasana yang sangat tidak nyaman. Seperti ada awan mendung yang menaungi kita berdua.. Aku tidak berani menatap Mas Idad dan Mas Idad juga tidak berniat mengajakku berbicara. Sepanjang perjalanan pulang kata-kata Mas Idad terus terngiang di kepalaku dan ketika aku mengingat-ingat kenanganku bersama Mas Idad, tanpa sadar air mataku mulai menetes.

Saat itu kami berhenti di lampu merah. Aku pun segera menghapus air mataku agar tidak terlihat aneh di lihat orang-orang. Ketika aku menahan air mataku lagi, mataku bertemu pandang dengan matanya. Dia melihatku dengan tatapan khawatir dan penasaran. Aku pun segera mengalihkan pandanganku dan menghapus air mataku lagi. Beruntung lampu hijau segera menyala. Aku bisa melihat dia masih memperhatikanku sampai dia menghilang di belokan. Aku mendengus merutuki diriku sendiri.

'Apa yang kamu pikirkan, Fira? Berharap nanti dia akan bertanya keadaanmu?' Batinku.

Sepanjang perjalanan pulang yang aku lakukan adalah menahan tangis dan menghapus air mataku bila ternyata ada air mata yang keluar walau sudah aku tahan. Sesampainya di rumah pun aku tidak banyak bicara dan langsung masuk ke kamar. Curhat di buku diary ku dan menangis ketika Umi masuk dan memelukku. Setelah aku cukup tenang dan makan malam, aku masuk ke kamar lagi dan membuka HP-ku. Dugaanku pun benar bahwa dia akan bertanya keadaanku. Aku tersenyum sedih lalu mengabaikan pesan itu dan tertidur.

Esok harinya aku masuk kelas dengan mood yang sangat tidak mendukung. Aku sudah memberitahu Fia bahwa keadaan semakin memburuk sehingga mereka tidak banyak bertanya padaku. Mereka semua tahu keadaanku yang sedang tidak mood sehingga seharian mereka mencoba menghiburku.

Dear, brotherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang