Part 12

8.6K 819 11
                                    

Apa yang terjadi? Lucy merasakan angin berhembus melalui sela-sela dinding kayu, terasa dingin di kulitnya. Ia merapatkan selimut yang menutupi bahu telanjangnya. Lucy menutup mata, merasakan perasaan terancam dan takut. Ia bergidik, lalu berkonsentrasi pada suara di luar, pada suara selain tarikan nafasnya sendiri.

Tidak ada siapapun.

Lega mengetahui dirinya aman dan sendirian, Lucy menghembuskan nafas, menutup matanya dan mengusap wajah. Kelegaan membuat dirinya mendadak disergap rasa lelah. Oh, betapa ia butuh waktu sesaat untuk tidur dan berhenti memikirkan apa yang baru saja terjadi. Bukankah setelah membuka mata besok pagi, ia akan menemukan dirinya terbangun di atas ranjangnya yang empuk? Bukankah ini semua hanya mimpi buruk? Karena sungguh, bukankah... Dunford tidak akan tega melakukan hal seperti itu padanya.

Benar, ini semua hanya halusinasi. Murni mimpi buruk karena dirinya berprasangka yang tidak-tidak pada Dunford. Bagaimanapun, pria itu selama ini berlaku sopan dan baik, tidak ada celah dan kesalahan dalam semua sikapnya kepada Lucy, baik secara pribadi maupun di depan umum. Jadi, apa yang sebenarnya terjadi?

Lucy mengusap wajah lagi. Ia terkejut menyadari ketika menarik nafas ada cairan panas yang mengalir di pipinya. Lucy menghapus air mata dengan punggung tangannya. Cemas, ia menyadari tangisnya bisa berubah menjadi isakan kalau ia tidak kuasa menahan diri.

Gretek

Lucy terkesiap, matanya nyalang memandang ke jendela. Tidak ada siapapun, mungkin hanya angin yang membuat kusen jendela bergetar pelan. Ia sempat merasa panik sesaat mengira itu suara Dunford yang masih mencarinya. Lucy bahkan tidak ingat ia sudah berlari berapa lama dan berapa jauh ke dalam hutan. Berapa pos penjaga yang ia lewati sampai akhirnya ia memilih satu dan bersembunyi di sini? Apakah Dunford masih ada di luar dan mencarinya? Udara malam semakin dingin, mungkinkah pria itu akhirnya menyerah dan meninggalkan Lucy?

Betapa dinginnya, pikir Lucy sambil menggosok kedua tangannya dan merapatkannya. Kedua tangannya gemetar, belum sepenuhnya pulih akibat keterkejutan yang diterimanya. Lucy menggosokkan tangannya ke sekeliling tubuh, berharap berhasil menghangatkan dirinya. Ia bahkan tidak bisa membedakan apakah ia gemetar karena merasa dingin atau ketakutan. Tetapi...

Setiap menutup mata, Lucy selalu membayangkan wajah marah Dunford, caranya mencium Lucy dengan kasar, caranya memaksakan diri pada Lucy, bagaimana gerakan tangannya ketika meraba tubuh Lucy dan...

Lucy bergidik lagi. Ia merapatkan selimutnya, berharap pagi segera datang menjelang. Lucy berharap setidaknya kakaknya atau mungkin Anthony akan mencemaskannya dan mencarinya. Bukan, mungkin bukan Anthony. Pria itu sibuk dengan tunangan cantiknya. Lucy hanya bisa berharap Leopold akan cukup sadar untuk menyadari bahwa ia tidak ikut sarapan besok pagi.

                                                                  -00000000000000000000-

"Apa yang terjadi?" hari sudah melewati tengah malam ketika Leopold tiba. Bulan terlihat semakin tinggi di atas langit, menciptakan bayang-bayang panjang pada pepohonan. Sejauh mata memandang, hanya ada hiruk pikuk pesta yang memudar.

"Lucy menghilang," bisik Anthony kalut. "Aku tidak tahu... kemana... Dunford mungkin membawanya. Atau apa yang mungkin terjadi tapi... kita harus menemukannya sesegera mungkin."

Melihat Anthony yang terbata-bata, Leopold tiba-tiba merasakan ancaman dan rasa takut. "Dunford... apa yang dia lakukan pada Lucy?" Anthony menggeleng, jadi Leopold hanya bisa mengeraskan rahang. Ia menepuk leher kudanya pelan, merasakan derap perlahan di bawah kakinya.

"Kita bertemu satu jam lagi di sini?"

Anthony melirik jam besar di belakang Anthony. Pintu gerbang membuka dan terlihat beberapa tamu sudah bersiap pulang. Anthony dan Leopold saling melempar lirikan tajam dan tanpa membuang waktu memacu kuda mereka secepat yang mereka bisa.



[18+]The Second Waltz - 1st Ballroom Series  (HALF PUBLISHED): Ebook AvailableWhere stories live. Discover now