Part 5

10.5K 937 21
                                    

Lucy berpikir dan mengerutkan hidungnya. Ada rahasia yang disembunyikan Anne Leighton darinya. Padahal gadis itu biasanya selalu membagi semua rahasia kepadanya.

Lucy menepakkan kakinya di rumput dan kembali mendorong mundur ayunannya. Ia memberikan tolakan kaki yang cukup kuat, menjadikan ayunan yang dinaikinya sedkit berderit saat membawa tubuhnya berayun lebih tinggi.

Cuaca cerah sementara udara berbau lembab, seolah memberikan jejak samar dari hujan yang mengguyur kota tadi malam. Lucy bermaksud untuk datang menemani Anne dan mungkin menghabiskan waktu dengan mengobrol dengan Lord Humbletown pagi ini. Hanya saja, jawaban yang diberikan oleh kepala pelayan Anne cukup mengejutkan.

"Maaf, My Lady, Miss Leighton pagi-pagi sekali sudah berangkat bersama His Lordship untuk berobat di pedesaan."

Secepat itu, rencana kedatangan Lucy ditolak dan gagal. Lucy memutar kembali keretanya dan pulang, bermain di ayunan taman belakang yang biasa digunakannya bersama dengan Anne sejak kecil. Lucy merasa kesepian dan sendiri. Ia butuh teman atau apapun yang bisa dilakukannya untuk menghabiskan waktu.

Apakah Lord Humbletown sakit lagi? Lucy mulai berpikir. Well, Lord Humbletown memang sedang sakit, tetapi apakah penyakitnya semakin memburuk? Berapa lama Anne akan tinggal di pedesaan? Terakhir kali, Pamannya pergi sendirian hanya ditemani kepala pelayannya. Pertanyaan Lucy, adalah kenapa kali ini Anne pergi menemaninya? Apa perbedaannya dengan saat terakhir kali Pamannya pergi sendirian ke sana?

Mungkin, memang benar penyakitnya memburuk. Lucy teringat wajah lelah dan sedih Anne yang dilihatnya semalam. Gadis itu tampak kusut dan menderita, butuh bantuan tetapi terlalu segan untuk memintanya kepada orang lain. Sejak dulu, Anne selalu begitu, enggan menyulitkan orang lain dan meminta bantuan.

"To weep is to make less the depth of grief," seseorang berkomentar tajam di belakangnya.

Lucy mendenguskan tawa, "dari William Shakespeare, King Henry The Sixth." Kemudian: "Tetapi, aku tidak menangis, kok?"

Anthony memiringkan wajah, meneliti ekspresi Lucy yang agak menantangnya. "Tidak? Sama sekali?"

Pipi Lucy memerah sebelum akhirnya ia memalingkan wajah. Anthony mendekat hanya untuk berpura-pura meneliti wajahnya. Tetapi, pria itu terlihat tampan dalam artian tidak sopan. Anthony tidak mengenakan setelan resmi. Ia mengenakan celana ketat berkuda, rompi, dan kemeja putih yang bagian lengannya digulung, memperlihatkan sepasang lengan yang terlihat kuat.

"Jangan meledekku. Aku sungguh tidak menangis," desah Lucy. "Aku hanya bosan." Ia menunjuk sepatu Tony yang terlihat sedikit kotor. "Apakah kau habis berkuda?"

"Benar," Anthony duduk di ayunan sebelahnya. Hal yang sama sekali tidak disangka Lucy akan dilakukannya. "Apakah kau bisa berkuda?"

Mata Lucy mendadak berbinar. "Aku bisa, tetapi Leo melarangku pergi berkuda tanpa pengawasan darinya."

"Apakah kau mau berkuda?" ajak Anthony tiba-tiba. "Aku bisa jadi pengawasmu."

"Oh," senyum Lucy mendadak timbul, menemani binar cerah di matanya. "Aku mau sekali!"

Anthony membalas senyum Lucy. Hari ini Lucy mengenakan gaun merah muda dengan pita melingkar di pinggangnya. Dengan senyuman di wajahnya, Lucy tampak cantik dan bahagia. Anthony mengenyahkan pikiran aneh yang menghinggapinya jauh-jauh. Ia melihat Lucy dan merasa bahagia, untuk sementara itu cukup.

Itu yang terjadi satu jam yang lalu. Ia tersenyum. Ia bahagia. Sekarang, ia merutuki dirinya dan menyesal. Lucy sungguh gadis bandel. Sekarang ia paham mengapa Leopold melarang adiknya untuk pergi tanpa pengawasan.

Lucille Dunne, di luar dugaannya adalah gadis yang sangat pandai berkuda. Gadis itu tidak menyia-nyiakan momentum lompatan dan bisa menaklukkan rintangan-rintangan sulit yang bahkan mungkin akan dihindari oleh pria sekalipun.

[18+]The Second Waltz - 1st Ballroom Series  (HALF PUBLISHED): Ebook AvailableWhere stories live. Discover now