Part 6

9.5K 965 18
                                    

"Hnghhh..."

Ada suara. Jadi, ia tidak sendirian di perpustakaan besar ini. Ada orang lain di sini selain dirinya.

Lucy merapatkan bibir dan menahan nafas. Tangannya refleks bergerak untuk merapatkan jubah kamarnya. Malam sudah larut, bulan penuh sudah terlihat di langit, dan rata-rata seluruh lilin kamar telah dipadamkan. Seharusnya, tidak ada lagi orang yang terjaga.

Selain Lucy sendiri, tentunya. Karena mendadak ia tidak bisa tidur.

Sudah sebulan lebih sejak Anne pergi menemani Pamannya berobat ke desa. Hari ini ia menerima sepucuk surat dari Anne. Surat itu bernada riang, menceritakan udara segar pedesaan, bau tanah lembab di pagi hari, dan kicauan burung yang terdengar jelas sampai ke jendela. Anne menuliskan bahwa kesehatan Lord Humbletown tidak membaik, tetapi juga tidak memburuk. Masih ada harapan, tulisnya.

Tetapi, Lucy tahu, Anne bisa saja berbohong padanya.

Lucy berusaha tidak memikirkannya sepanjang siang. Ia bercanda dan bicara dengan kakaknya dan dengan Anthony. Ia juga berkuda dengan riang. Anehnya, hari ini kakaknya bahkan meminjamkan satu buku koleksinya kepada Lucy.

Ada yang berbeda dengan kakaknya, Leopold. Kadang ia tertangkap sedang melamun, kadang menghela nafas. Sementara itu, Anthony tidak jauh berbeda. Kadang ia tertawa, kadang matanya menerawang menatap di kejauhan.

Lucy merasa tidak bisa bercerita pada siapapun. Ia hanya mampu menekan perasaan gelisahnya dalam-dalam. Menerima surat Anne membuatnya justru makin tidak tenang. Seolah sahabatnya itu berjuang sendirian tanpa siapapun di sampingnya. Dan Lucy, tidak tahan membayangkan hal itu terjadi.

Kalau Lord Humbletown sampai... meninggal...

Lucy menggeleng dan berusaha mengenyahkan pikiran buruknya. Ia tidak ingin kehilangan satu sosok berarti lagi dalam hidupnya. Kepergian ayahnya sungguh sudah cukup. Rasanya tak tertahankan merasakan ketidakberdayaan, perlahan-lahan, menyadari ada seseorang akan pergi darimu, tetapi kau tidak bisa berbuat apapun.

"Hentikan!!"

Lucy terlonjak mundur mendengar teriakan yang bagaikan raungan tiba-tiba. Tidak lama, suara langkah kaki yang terburu-buru terdengar di sepanjang lorong. Pintu perpustakaan terbuka dengan suara keras, dan Leopold masuk dengan langkah tergopoh-gopoh.

"Lucille!" Leopold bukan main terkejut melihat Lucy dengan gaun tidurnya, berada di perpustakaan pada tengah malam. "Apa yang kau lakukan di sini?! Ini tengah malam!"

"A-aku hanya tidak bisa tidur..." Lucy menoleh ke sekeliling dengan cepat. "A-aku juga mendengar ada suara lain, kupikir..."

Leopold menghela nafas. "Itu.... hanya Anthony."

"Oh, baiklah." Lucy mengangguk. Lalu: "Apa?!" Ia mengerjap bingung.

Leopold mengangkat bahu dan meraih gelas yang berada di meja, "Maukah kau mengisikan air minum untukku?"

Lucy meraih gelas dan mengisinya cepat-cepat di dapur. Pelayan yang berjaga sempat terkejut tetapi kembali tidur ketika Lucy meyakinkan mereka bahwa ia hanya merasa haus. Lucy kembali tepat ketika mendengar suara kakaknya yang rendah dan cepat, nyaris bagai gumaman.

"Anthony? Bangunlah... kau mimpi buruk lagi." Terdengar erangan. "Tidak, tidak. Kau sudah pulang. Perang sudah usai..."

Anthony menginap di sini. Lucy melupakan kenyataan itu. Tidak, ia hanya tidak tahu Anthony akan tidur di sofa perpustakaan, bukannya di ranjang tamu yang disediakan untuknya.

Lucy membawa gelas dan menghampiri kakaknya. Anthony tidur dengan gelisah. Kening dan lehernya basah oleh keringat. Lucy tanpa sadar bergerak untuk menyingkirkan rambut yang menempel di pipi pria itu dan mengelap keringatnya dengan lengan bajunya.

[18+]The Second Waltz - 1st Ballroom Series  (HALF PUBLISHED): Ebook AvailableUnde poveștirile trăiesc. Descoperă acum