Part 2

16.6K 1.2K 63
                                    

"Awas, di belakangmu... Tony!"

"DORR!!"

Terdengar bunyi tembakan keras yang memekakkan telinga. Ia bisa merasakan nafasnya sendiri, terdengar berat dan terengah-engah. Dadanya dicekam perasaan takut dan ketika ia menoleh, di sampingnya ada seseorang yang terbujur kaku. Kelu memenuhi lidahnya. Ia merasakan nafasnya sempat berhenti ketika tangannya menyentuh tubuh yang terkapar di sampingnya.

"Maafkan aku..." Terkejut, ia menangkup bibirnya dengan tangannya sendiri.

Ada suara isakan yang tidak sengaja keluar. Penyesalan. Penyesalan yang menyakitkan memenuhi dadanya.

Kenapa orang itu harus meninggal?

Kenapa bukan dirinya?

Kenapa ia yang diselamatkan?

Tidak... tidak!! Cepat!! Aku harus menyelamatkannya!

Cepat, ia memandang sekeliling. Harus memanggil bantuan, pikirnya cepat. Tetapi, sekelilingnya dipenuhi darah.

"Hah......" nafasnya mulai tidak beraturan lagi. "Tidak!!!" erangnya, pedih. Teman-temannya... satu per satu wajah yang dikenalinya adalah milik mereka yang bersamanya sampai semalam. Minum bersama, bercerita bersama, berangan-angan untuk pulang bersama-sama. "Teman... Teman-teman...!!!" erangnya lagi, kali ini dipenuhi rintihan rasa pedih. Lalu, tiba-tiba seseorang mengguncang bahunya. 

"Tony!"

Tony terbangun.

Leopold Dunne, sahabatnya selama belasan tahun terakhir, mengguncang bahunya sekali lagi. Wajah Leo terlihat cemas dan khawatir. Raut wajah yang familiar. "Bernafaslah," perintah Leo tegas. "Tarik nafas dalam-dalam dan hembuskan. Kau lagi-lagi bermimpi buruk."

Mata Tony menatap nyalang ke sekelilingnya. Otaknya berpikir cepat, berusaha mencerna keadaan sekitarnya, dimana ia berada dan apa yang terjadi. Perlahan-lahan matanya mengenali ruangan yang seharusnya tidak asing baginya. Kamarnya sendiri di Westfield Manor. Sejenak semua aliran memori kembali memenuhi kesadarannya. Nafasnya melonggar dan terasa lebih lega. Perasaan tertekan yang menghimpitnya berangsur menghilang.

Semua itu... hanya mimpi. Tony menyeka peluh di dahinya dengan punggung tangan. "Benar, sekarang adalah London... tahun 1815... satu setengah bulan setelah pertempuran Waterloo berakhir." Tony menggumamkan ingatannya, hanya untuk semata-semata mempertahankan kewarasannya.

"Mungkin kau harus menemui dokter..." ucap Leo sambil melemparkan handuk basah ke pangkuan Tony.

Tony tersenyum getir. "Terakhir aku ke sana, mereka hanya memberiku obat penenang. Tidak buruk, mimpi barusan itu... masih lebih mendingan dibandingkan beberapa minggu lalu."

Leo mengangguk, paham. Beberapa minggu lalu adalah saat-saat terberat bagi seluruh prajurit yang kembali dari pertempuran Waterloo. Napoleon dikalahkan, perang dimenangkan, namun tidak sedikit nyawa yang menghilang dalam pertempuran berdarah melawan Prajurit Prancis.

Leo dan Tony mungkin beruntung bisa pulang. Hanya saja, mereka harus menghadapi pandangan pahit dan muram dari para keluarga yang ditinggalkan, yang kehilangan anggota keluarga mereka, yang diam-diam merasa iri melihat para prajurit yang berhasil kembali pulang setelah menunaikan tugasnya membela negara.

Kemudian, minggu-minggu panjang sesudah peperangan mengubah psikologis maupun fisik mereka. Tony melihat Leo dan menyadari bahwa sahabatnya kini terlihat lebih dewasa beberapa tahun daripada usianya yang sebenarnya. Perhatian Tony kembali kepada wajah Leo dan mata kirinya yang terbalut perban sebelah. Perang mengubah mereka dan nyaris merenggut penglihatan Leo. Leo yang bertugas di garda depan nyaris kehilangan sebelah matanya.

[18+]The Second Waltz - 1st Ballroom Series  (HALF PUBLISHED): Ebook AvailableWhere stories live. Discover now