Part 3

12.9K 1K 18
                                    

Kalau ada orang yang sulit dipahami, Lucy yakin Tony Westfield lah orangnya. Baru beberapa saat lalu ia tertawa lebar di sana, terlihat tulus dan hangat. Mendadak, Lucy merasa tidak mengenal pria asing yang kini berdiri di hadapannya.

Penyebabnya, beberapa menit lalu, seorang pelayan tidak sengaja menjatuhkan sebaki peralatan makan perak, membuat bunyi jatuhnya begitu heboh dan mengejutkan. Hampir seluruh tamu yang datang melompat karena kaget.

Lucy terkejut setengah mati, ketika tidak menemukan Anthony Westfield di tempatnya semula. Lucy hendak mencari di sekitar ketika ia tiba-tiba menyadari ada sesuatu yang bergerak di kakinya. Athony Westfield, meringkuk di atas tanah, kedua tangannya memegang sisi kepalanya. Posisinya bagaikan landak yang bergelung.

"Tony..."

Herannya, Leopold tampak tidak terusik dengan tingkah laku Tony. Ia menyenggol siku Tony, yang kemudian ditepis. Leopold mendekat, menepuk pundak Tony. Satu, dua, tiga kali. Lalu ia berbisik perlahan di telinga sahabatnya.

"Di sini London, tahun 1815, kau sudah kembali dan tidak lagi berperang. Barusan ada pelayan bodoh menjatuhkan alat makan perak..."

Tony masih terdiam, tetapi perlahan-lahan tangannya turun dari kedua sisi kepalanya. Matanya tertutup, nafasnya berhamburan, urat di pelipisnya berdenyut sakit.

"Bernafaslah, Tony..." ulang Leopold.

Tony menarik nafas. Ia menghitung dalam hati sembari terus mengulang-ulang kalimat Leopold bagaikan sebuah mantra untuk mengembalikan kesadarannya.

Di sini London tahun 1815, kau sudah kembali dan tidak lagi berperang. Barusan ada pelayan bodoh menjatuhkan alat makan perak... Itu hanya alat makan perak, bukan bunyi senapan bukan bunyi ranjau peledak... Bukan...

Tony akhirnya berdiri, ia membiarkan sikunya ditarik oleh Leopold.

Lucille dan Anne menatapnya terkejut. Wajah mereka cemas dan bingung. Sementara itu, mata Bibi Strauss tampak bijaksana, seolah memahami apa yang sedang terjadi.

"Maaf, apakah kau baik-baik saja?"

Anthony Westfield masih terdiam. Leopold kemudian menyenggolnya pelan dengan siku, berbisik kepadanya. "Lucy bertanya padamu..."

Sejenak kemudian, mata Anthony terlihat lebih fokus dan Anthony mengangguk pelan.

Lucy menatap pria di depannya bingung. Peristiwa kecil itu bagaikan mengubah sifatnya seratus delapan puluh derajat. Hilang sudah sopan santun dan keramahannya.

Raut wajahnya keras dan kaku, rahangnya terkatup, matanya menatap tajam tetapi terlihat waspada. Tangannya kemudian berada di saku celananya. Lucy membayangkan yang tidak-tidak ketika melihat tangan itu masih merogoh waspada di sana. Apakah yang ia simpan di saku celananya? Pistol? Pisau?

"Selamat malam, Earl of Westfield, aku yakin aku terakhir kali bertemu denganmu saat usiamu masih belasan tahun. Kau..."

Seorang pria berlaku ramah dan menyapa Tony. Tetapi, Anthony Westfield mengibaskan tangannya dengan tidak sabar. "Malam ini aku hanya bertindak sebagai figuran bagi sahabatku..."

"Ah, tetapi kebetulan hari ini putriku juga berada di sini, dan..."

Anthony tersenyum. Wajahnya sungguh tersenyum, kau tidak bisa melihat senyumnya dan mencelanya, mengatakan senyumnya adalah penipuan. Hanya saja, ketika melihat senyumnya, bulu kudukmu merinding berdiri. Seolah ada peringatan berbahaya di sana. Seolah ada peringatan untuk berhenti bicara, berhenti mengatakan sesuatu... atau apapun yang hendak kau lakukan dan kau rencanakan, kau sebaiknya membatalkannya.

[18+]The Second Waltz - 1st Ballroom Series  (HALF PUBLISHED): Ebook AvailableTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang