Part 4

11.9K 1K 15
                                    

"Bagaimana?"

Begitu dokter melangkah keluar dari ruangan kerja Leopold, Tony langsung melangkah menghampiri Leopold. Wajahnya terlihat cemas. Ia tak urung memperhatikan bahwa Leo sudah melepaskan perban yang selama ini menutupi sebelah matanya.

Leopold mengeluarkan resep dokter yang sedari tadi digenggamnya, mengipasnya di depan wajah dengan ekspresi pura-pura lelah. "Aku diresepkan obat olesan dan kacamata."

Tony melihat sisi wajah Leo yang sebelumnya terbungkus perban. Masih ada carut panjang yang melintasi matanya di sana, bekas luka yang belum sepenuhnya sembuh dan hampir merenggut penglihatan Leo.

"Aku akan membiasakan diriku dengan kacamata," keluh Leo. "Sementara waktu, sahabatmu ini akan terlihat seperti pelajar tampan yang terlihat pandai."

Senyum Tony terpasang sekilas di pipi kirinya. "Kalau kau bisa bercanda seperti itu, kutebak keadaanmu dan hasil pemeriksaannya cukup baik."

"Penglihatanku memang masih belum sepenuhnya normal," aku Leo. "Tetapi aku bisa mencolok lubang hidung sombongmu itu dengan tepat," cibirnya. "Aku benci sekali senyum sombong yang kau berikan dengan sebelah pipimu itu..."

"Ah, ini trademark-ku, apa boleh buat," Tony berdalih.

"Bagaimana dengan dirimu sendiri, Tone? Tidak sekalian kupanggilkan saja dokter?"

Wajah Tony langsung mengkeruh. "Siapa yang akan kau minta untuk memeriksaku, Leo? Aku paham maksud baikmu, tetapi tidak. Begitu kuucapkan apa penyakitku, aku yakin mereka akan menyuruhku ke dokter jiwa."

"Tony..."

"Aku tidak gila, Leopold Dunne." Potong Anthony tegas. Ia menatap nyalang ke mata Leo. Mata sebelahnya, tertutup poni panjang, bisa ditebak memancarkan tatapan simpatik yang sama. "Aku tidak gila. Apa menurutmu aku gila?"

Mata Tony terlihat memendam banyak luka dan rasa sakit. Ada rasa takut yang terpancar di sana. Ada pula sekelebat perasaan lain seperti rasa tidak percaya diri dan kesadaran akan adanya mimpi buruk yang masih menghantui para pejuang perang setiap malam.

Luka-luka perang biasanya tidak secepat itu sembuh. Mereka tidak terlihat, mereka tersamarkan dengan baik. Tetapi, ada kalanya ketika malam tiba, mereka datang dan kau tahu kau tidak akan bisa lari dari mereka. Luka itu masih ada di sana. Ketakutan itu masih ada di sana. Dan kebanyakan dari mereka mewujud dalam mimpi buruk yang berkepanjangan.

Leo menatap mata Tony lagi. Ada seberkas keteguhan hati sana. Keyakinan bahwa logika rasional masih memenuhi dirinya.

"Tidak," Leo menggeleng dan tersenyum. Ia pun menepuk pundak Tony dan meremasnya. "Tidak. Aku tahu, kau tidak gila."

                                                                                           -00000000-

"Apakah kau sudah merasa nyaman, Paman?" Anne bertanya lembut sambil menyampirkan selimut untuk menutupi kaki Pamannya, Lord Humbletown. Lord Humbletown berwajah keras dan terlihat galak. Rambut di kepalanya mulai menipis, sementara alisnya masih terlihat lebar, mempertegas bentuk matanya yang tajam.

"Ehmmm..." Lord Humbletown berdehem, berusaha menyingkirkan rasa gatal di tenggorokan tuanya. Ia masih mendongkol karena tidak ada satupun dokter di kota yang bisa membantunya menyembuhkan sakit batuk-batuknya yang kian hari kian parah.

Lord Humbletown terbatuk-batuk lagi.

Anne spontan menghampiri pamannya dan menepuk-nepuk punggungnya lembut. "Akan kuambilkan minum untukmu, Paman."

"Ini, Anne..." Lucy kembali dengan membawa baki di tangannya. Segelas teh yang bersuhu hangat diberikannya kepada Anne. "Aku menambahkan madu dan daun mint di dalamnya. Dulu sewaktu kecil, Mama selalu membuatkan ini setiap kali aku atau Leo batuk-batuk."

[18+]The Second Waltz - 1st Ballroom Series  (HALF PUBLISHED): Ebook AvailableWhere stories live. Discover now