Iris ngeri dengan ucapan Pita. Cewek itu memang kadang menyeramkan ketika sedang marah atau diperlakukan semena-mena.

"Nah, sekarang giliran lo," ucap Pita sembari mengambil ponsel Iris dari saku seragam cewek itu. Tambahan, Pita juga semena-mena.

"Lo mau ngetik apaan?" tanya Iris penasaran sekaligus was-was.

Pita tersenyum licik, menghindari layar ponsel dari mata Iris. "Rahasia negara."

Iris benar-benar takut. Namun dia tidak mau memaksa, bisa-bisa Pita mengeluarkan jurus karatenya yang mutakhir. Maka Iris diam, menunggu dengan sabar.

Lalu Pita memperlihatkan layar ponselnya kepada Iris.

Dan Iris ingin menjerit saking malunya.

Iris: Ariii, kamu dimana? :((( Ada yang mau Iris omongin sama kamu.... Penting, nggak pake lama. Wuf you.

"Gila ya lo?!" desis Iris sembari menabok bahu Pita. "Gue nggak mungkin selebay ini di depan Ari, kali!"

Pita tidak acuh. Matanya fokus pada reaksi Ari. Tidak punya pilihan lain, akhirnya Iris ikut memperhatikan.

Ari kini memerika ponselnya seperti yang tadi dia lakukan. Tapi ketika membaca pesan itu, Ari langsung bangkit, mengetikkan balasan dengan cepat. Teman-temannya menatap Ari bertanya. Dari kejauhan, suara Ari terdengar.

"Gua cabut ya. Cewek gua lagi butuh perhatian."

Iris merasa terendam oleh air dingin, pias begitu saja.

Cewek gua. Cewek gua. Cewek gua. Iris itu ceweknya Ari....

"Wah, semangat ya, Bro! Gua yakin lu bakal dapetin doi!" balas teman Ari dengan cengiran.

Ari tersenyum tipis, kemudian pergi meninggalkan kantin. Meninggalkan Iris yang sungguh tidak tahu harus berkata apa.

Iris membaca balasan dari Ari dalam diam. Sementara Pita tersenyum puas karena tebakannya benar.

Ari: Kamu dimana?

Sungguh Iris buta.

• • •

BAGI Ira, menata hati sangatlah sulit untuk dilakukan. Apalagi kalau kasusnya parah seperti ini. Tapi Ira tidak ingin menangis karena Ira tahu ketika dia menangis, dia tidak akan bisa berhenti.

Maka dia mencoba, perlahan demi perlahan, tidak menggantungkan hidupnya lagi pada Alden. Tidak semua masalah harus Ira timpakan pada Alden bukan? Cowok itu sudah punya banyak masalah. Jangan lagi Ira tambahkan karena masalah perasaannya.

"Ulangan hari ini susah banget," keluh teman sebangku Ira. "Gue yakin gue nggak bakal lolos, pasti remedial. Kalo lo gimana, Ra?"

Lamunan Ira buyar. Pandangannya yang tadi tertuju pada Iris kini beralih pada temannya.

"Hah? Bisa, kok," jawab Ira setengah tak sadar.

Ira kembali melihat ke arah Iris. Cewek itu sedang mencatat materi yang ada di papan tulis meskipun guru sudah keluar kelas sejak tadi karena bel pulang sebentar lagi berdering. Ira tahu kalau Iris memang rajin, hanya saja kapasitas otaknya tidak seluas Ira. Itu semua wajar karena Iris sudah hebat di tari.

Namun sekarang kapasitas otak Iris lah yang menjadi permasalahannya.

Begitu bel berdering, Iris langsung menutup bukunya serta memasukkan barang-barang yang berserakan di meja ke dalam tas. Dia berbicara sesuatu kepada Pita sebelum berlalu pergi. Mungkin mengatakan bahwa dia pulang cepat.

Ira pun memasukkan seluruh barangnya ke dalam tas dan mengikuti langkah Iris, tidak peduli teman sebangkunya bertanya kemana dia pergi.

"Woi," panggil Ira pada Iris.

Langkah Iris terhenti. Koridor sekolah masih sepi jadi suara lantang Ira tentu terdengar oleh Iris. Entah kenapa Ira ingin sekali meninju wajah Iris. Dia seperti tidak punya dosa kepada Ira.

"Gue mau ngomong sama lo, penting," ucap Ira.

Iris sejenak membeku, sebelum akhirnya dia terdiam, mendengarkan.

"Gue nggak mau lo ambil Alden, tapi gue juga nggak mau Alden sedih. Gue mau lo sama Ari, tapi gue nggak mau ada hubungan kekerabatan sama lo nantinya," beritahu Ira dengan nada dingin. "Gue mau tanya sekarang, kenapa hidup gue harus selalu berkaitan dengan lo? Kenapa lo nggak bisa enyah aja dari Alden atau Ari?"

Iris diam, kokoh terhadap kata-kata Ira yang jahat.

"Kenapa gue ngerasa kejam sama lo di saat gue cuma nggak suka sama keberadaan lo? Kenapa harus lo, lo, dan lo?" tanya Ira bertubi-tubi. Dia ingin mengeluarkan semua hal yang menyesakkan dalam hatinya. Tepat kepada Iris.

"Ra," panggil Iris lembut.

"Nggak! Gue belum selesai ngomong," potong Ira langsung. "Gue tahu, pasti Alden ngasih tau perasaan dia ke lo. Gue juga tahu, kalo lama-kelamaan lo pasti luluh sama dia. Nggak mungkin ada cewek yang nggak luluh ketika cowok sangat merjuangin dia. Tapi, Ris, pikirin tentang Ari."

Wajah Iris semakin tidak bisa Ira baca. Seolah ada hal yang Iris tahu, namun Ira tidak.

"Sebenernya Ari suka sama lo, Ris!" beritahu Ira akhirnya. Beban berat yang menggelayuti cewek itu sejak berbulan lalu kini lepas sudah. Ira menarik napas panjang, lalu mengembuskannya. "Ari suka sama lo dari dulu. Tapi dia nggak pernah berani bilang. Dia suka sama lo. Tapi nggak mau keluar dari zona nyaman."

Iris terap terdiam dan ini membuat Ira sangat takut.

"Jadi sebelum lo bareng Alden, lo pikirkan juga tentang Ari," simpul Ira akhirnya. Dia berjalan melewati Iris sambil mendengus. "Udah, gue cuma mau ngomong itu."

Ira mengira Iris tidak akan mungkin membalas perkataannya. Namun Ira salah. Iris menahan tangan cewek itu, lalu menatap Ira tepat di mata.

"Ari punya banyak kesempatan untuk memberanikan diri bilang yang sejujurnya. Jadi kenapa sekarang ketika gue direbut Alden, lo jadi belingsatan? Bukannya lo sendiri yang nggak mau gue deket kembaran lo?" tanya Iris. Suaranya bergetar hebat. "Ini, Ra. Ini alasan gue nggak bisa temenan sama lo. Lo terlalu picik dan mikirin diri lo sendiri. Lo anggap gue saingan saat gue anggap lo teman. Mau seberusaha apa pun gue untuk memperbaiki hubungan kita, lo selalu lima langkah lebih maju untuk menghancurkannya," satu titik air mata jatuh mengenai pipi Iris. Dia terisak. "Gue... gue capek."

Iris melepas tangan Ira, lalu berderap pergi. Sementara Ira mematung di tempat. Kata-kata Iris terasa menusuknya seperti pisau.

Ira hanya melihat pada satu sisi. Merasa dirinya yang selalu tersakiti.

Ternyata Ira seegois itu.

A.N

YEAY SESUAI JADWAL meski agak telat, yha, yang penting bisa memenuhi jadwal. Hehehehe.

Jadi gimana chapter ini? Apa ngebosenin? Bikin baper? Atau relate ke kalian?

Harapan ke depannya untuk cerita ini?

I Wuf UTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang