Rasa Aneh Itu

1K 59 0
                                    

"Ayesha, kamu lambat banget sih! Nggak masuk nih jadinya, ancur instrumennya!" Ayesha menggaruk tengkuknya yang tidak gatal merasa tidak enak.

Entah mengapa, sedari awal latihan tadi perasaannya sudah tidak di ruang yang ia tempati itu. Sudah tidak menyatu dengan studio musik ini. Bahkan, rasanya berat sekali ia memegang gitar bass.

"Maaf, Kak."

Ia pun latihan lagi berusaha mengikuti irama musik band alternative pop-rocknya.

"Ah udah udah! Kamu kenapa sih, Sha? Tadi lambat banget sekarang kecepetan. Gimana bisa senada kita semua kalo kamu nggak fokus kaya gitu? Ya udah kita break dulu."

Tutur Mario kesal sambil mengambil ponselnya di tas yang kemudian melangkah keluar.

"Sebentar,  Kak." Mario yang hampir membuka pintu studio pun menghentikan langkahnya.

"Kenapa?"

Ayesha menghela napas dan melepaskan gitar bass yang dipegang setelah menurunkan volumenya.

Beberapa personil lain memandang ke arahnya dengan serius diiringi pikiran yang membuat penasaran tiap personil.

"Aku," ujarnya terpotong. Terpotong oleh keraguan yang melanda hatinya sedari tadi. Ayesha menunduk sekarang.

"Aku mau mengundurkan diri dari band ini, Kak." Ia menghela napas pelan. Akhirnya kalimat yang sedari tadi mengganjal itu keluar juga.

Semua diam.

Hening.

Bahkan ruangan yang tadi sangat berisik itu benar-benar tak bersuara.

Dika yang semula masih duduk di depan drum berencana mencairkan suasana dengan bangun dan menyimpan stik drumnya yang kemudian berjalan mendekati personil lain.

Dani,  sang melodis pun melepas gitar melodinya yang sudah tak memiliki mood untuk memainkannya. Begitupun Kenari, gadis lain sebagai gitaris itu mulai duduk di kursi belakangnya diikuti Rio sang pianis band yang juga duduk di kursinya.

Ruangan dengan dinding peredam suara itu masih hening, semua perasaan personil band begitu teredam tak tersalurkan. Semua terisolasi di ruangan itu.

"Maksudnya apalagi sih, Sha?"

Ayesha menunduk ketika Mario bertanya. Ia tidak enak sekali seperti ini, tapi mau bagaimana lagi? Ia sudah bertekad untuk berhenti ngeband karena entah mengapa, ikatan antara dirinya dengan studio musik itu seolah terputus, diiringi dengan perubahannya.

Kemarin malam, ia membuat keputusan itu matang-matang setelah membaca segala referensi.

Ia memang mencintai musik, bahkan dulu musik segalanya untuk Ayesha.

Musik adalah pelampiasan hidupnya yang kacau. Bass di studio itulah saksinya. Bass milik band mereka itulah saksi hidup ketika Ayesha marah, kesal atau bahkan jatuh cinta. Karena gerakan jarinya begitu kasar ketika Ayesha bermain dengan alat musik dengan senar tebal itu dikala kesal. Sampai terkadang membuat jari-jarinya kebal dan bengkak sendiri.

Tapi sekarang? Rasanya ia benar-benar mau berhijrah. Mau mencintai Allah sepenuhnya, bukan mencintai hal lain lagi. Kecuali memang Allah yang meridhoiNya untuk mencintai yang lain.

"Tiga hari lagi kita mau rekaman, dan sekarang kamu bilang begitu seenaknya?" tutur Mario dengan kesal.

"Maaf, Kak." Ujarnya lagi.

"Maaf katamu?!" Tanya Mario dengan nada tinggi seolah tidak menyangka dengan kata yang keluar dari mulut Ayesha.

Ia tidak mengerti dengan pikiran gadis di depannya ini.

SEGITIGA CINTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang