Lainne sendiri memilih jalan-jalan di sekitar penginapan. Berbeda sekali dengan jalan di Osaka yang malam-malam masih ramai, walaupun masih jam delapan, di sana sini sudah sepi dan penerangan pun remang-remang.

Ia berjalan tanpa arah menyusuri jalanan tua Kyoto. Tengah merenungkan apa yang terjadi hari itu, Lainne mendongak dan menyadari suasana jalanan itu. Ia serasa berada di jaman Bakusho, saat Shinsengumi bertarung melawan orang-orang imperialis. Ia tersenyum, Menakutkan, tapi kupikir sangat mengasyikkan.

Tiba-tiba sebuah suara menyapanya. "Sedang apa kau di tempat seperti ini?"

"Tetsu-kun." Lainne menoleh terkejut. "Hanya jalan-jalan."

Tetsuya mendekat, "Dengan raut seperti itu kau bilang 'hanya jalan-jalan'?"

"Memangnya wajahku saat ini seperti apa?" Balas Lainne.

"Kecut sekali, berkerut-kerut seperti nenek 70 tahun." Sahut Tetsuya dengan senyum usil seperti biasa.

Lainne mendengus. "Berlebihan sekali. Aku hanya sedang ada pikiran."

Mereka berjalan berdampingan dalam diam sampai Lainne membuka suara. "Bagaimana perasaanmu kalau aku keluar negeri?"

"Hah?"

Lainne berhenti berjalan. "Bagaimana perasaanmu kalau aku keluar negeri?"

Tetsuya menoleh. "Apa maksudmu? Ada apa?"

Lainne mengepalkan tangannya. Bodoh! Untuk apa kau mengatakan ini padanya? Apa juga urusannya denganmu? Kau mungkin suka padanya tapi dia tidak!

"Misalnya, aku keluar negeri dan tidak kembali lagi, bagaimana perasaanmu?" Tanya Lainne, berusaha untuk tidak menceritakan fakta keadaannya.

Tetsuya tertegun. "Kau serius?"

"Aku bilang 'misalnya'."

"Oh, misalnya. Kupikir kau serius." Sahut Tetsuya. "Well, kalaupun kau pergi, semoga berhasil di sana."

Harga diri yang terlalu tinggi menghancurkan seseorang.

Lainne membeku mendengarnya. Lihat, dia sama sekali tidak peduli. Jangan berharap lebih dari ini. Kau baru baikan dengannya dan sekarang berharap lebih? Jangan muluk-muluk kalau minta sesuatu!

Ia akhirnya tersenyum kecil. "I see."

* * *

Keesokan harinya, setengah hari ada jadwal dari sekolah, sedang sisa hari itu adalah jam bebas, waktu yang dinanti-nantikan Lainne dan Tetsuya.

"Kita mau ke mana jam ini?" Tanya Rei begitu mereka sudah boleh jalan-jalan sendiri.

"Em kami mau ke museum manga. Kalau kalian keberatan, kita mencar saja." Jawab Tetsuya.

Rei dan Takumi berpandangan dengan pikiran yang sama. Keduanya tersenyum, lalu mengangguk. "Baiklah. Selamat bersenang-senang!"

Lainne yang baru keluar dari toilet stasiun tertegun melihat Tetsuya sendirian. "Mana Rei-chan?"

"Katanya mereka mau mencar berdua. Bagus juga untuk kita." Sahut Tetsuya.

"Kau benar. Ayo."

Tak lama mereka sampai di museum itu. Setelah membeli tiket, mereka langsung naik ke lantai dua dan menghambur ke galeri-galeri manga yang terhampar di lantai itu.

Di museum itu tersedia berbagai macam manga berasal dari berbagai negara dari awal pertama manga muncul hingga manga terbaru. Lainne berkeliling dengan sebuah senyum gembira terpasang di wajahnya. Setelah mengambil manga yang ingin dibacanya, ia membawanya ke tepian dan duduk membaca.

Entah malaikat apa yang memilihkan manga itu untuk Lainne sampai tanpa diduga ia menangis membacanya.

Kenapa aku merasa manga ini cocok sekali kutipannya denganku?

Manga Pandora Hearts di tangannya hampir saja terkena tetesan air matanya. Manga yang bercerita tentang seorang bocah yang ditolak ayahnya dan dipindah ke dimensi lain hingga harus menjalani hidup berbeda begitu kembali ke dimensinya. Begitu kembali ia harus menerima kenyataan bahwa 10 tahun telah berlalu. Walau begitu, ia masih harus berhadapan dengan berbagai musuh yang ingin membunuhnya.

Dari semua itu, bukan nasib, perlakuan, atau tragedi yang dialami Oz, tokoh utama Pandora Hearts yang membuat Lainne menangis, tapi kata-katanya.

"...However I won't run away. I won't hesitate and move forward as Oz Bezarius."

Sambil menghapus air matanya, Lainne mengembalikan manga itu. Sama-sama dikejar masalah berat, tapi berbeda begitu jauh. Ia melangkah maju tapi aku malah berlari mundur.

Don't Call Me 'Akage'!Where stories live. Discover now