Bab 24. Kemunculan yang Tak Terduga

652 15 2
                                    

Ketika serangan itu dilancarkan hawa pedang yang dingin menyeramkan segera menyelimuti angkasa, bahkan sinar lentera pun kehilangan cahayanya.

Cia Siau-hong sedang mundur ke belakang.

Serangan tersebut telah menyumbat semua jalan mundur bagi gerakan pedangnya maka terpaksa ia harus mundur.

Mundur bukan berarti kalah.

Meskipun ia sedang mundur, bukan berarti ia sudah kalah.

Tubuhnya yang tertekan oleh hawa pedang telah melengkung ke belakang, melengkung bagaikan sebuah gendewa.

Tapi semakin kencang, gendewa itu melengkung, setiap saat kemungkinan besar akan memberikan daya pantulan yang besar, semakin besar daya tekanannya semakin besar pula daya pantulnya.

Bila saat seperti itu telah tiba, maka saat itu pula mati hidup menang kalah mereka akan ditentukan.

Siapa tahu di saat semua tenaganya tertekan, hingga mencapai pada puncaknya dan sebelum sempat dipancarkan keluar, tiba-tiba dari belakang kereta barang, dari balik serambi ruangan bermunculan empat bilah sinar pedang yang berkilauan.

Padahal semua perhatian dan semua kekuatannya sedang ditujukan pada pedang di tangan Thi Kay-seng, semua kekuatannya sedang dipersiapkan untuk menyambut datangnya serangan tersebut, ia sama sekali tidak memiliki sisa kekuatan lagi untuk memikirkan persoalan lain.

Cahaya pedang berkelebat lewat, tiga bilah pedang bersama-sama telah menusuk bahu, paha kiri dan punggungnya.

Seketika itu juga semua kekuatannya gugur dan hilang.

Serangan pedang dari Thi Kay-seng pun telah menyongsong tiba, ujung pedangnya telah menyambar ke bagian yang mematikan di atas tenggorokannya.

Ia tahu dirinya tak nanti bisa menghindar atau menangkis lagi, akhirnya dia harus merasakan bagaimana rasanya menghadapi saat kematian.......

......Perasaan yang bagaimanakah keadaan seperti itu?

......Benarkah di saat menjelang kematiannya, seseorang bisa terkenang kembali semua kejadian yang pernah dialaminya di masa lampau....?

......Sepanjang penghidupannya di dunia ini, sesungguhnya berapa banyak kegembiraan yang telah ia terima? Berapa banyak kesedihan yang dia alami? Sebenarnya orang lain yang bersikap masa bodoh kepadanya? Ataukah dia yang telah menyia-nyiakan pengharapan orang?

Semua pertanyaan semacam itu, kecuali dirinya sendiri, boleh dibilang tak seorangpun bisa menjawabnya.

Tapi ia sendiripun tak mampu menjawab.

Ujung pedang yang dingin dan keras telah menusuk tenggorokannya.

Dia hanya merasakan hawa dingin yang merasuk tulang menembusi tubuhnya, begitu dingin sehingga rasanya amat getir.

Akhirnya Cia Siau-hong roboh ke tanah, roboh di ujung pedang Thi Kay-seng dan tergeletak di atas genangan darah sendiri.

Ia bahkan tak sempat mengetahui siapakah empat orang penyergapnya itu.

Tapi Thi Kay-seng melihatnya dengan jelas.

Kecuali Cho Han-giok serta dua bersaudara dari keluarga Wan, masih ada lagi seorang manusia asing yang tinggi semampai dengan pakaian yang perlente, tapi wajahnya justru memancarkan rasa sedih, murung, letih dan kesal yang amat tebal.

Wan Ji-im sedang tersenyum sambil berkata:

"Kionghi Cong-piautau, akhirnya kau berhasil juga merobohkannya, nama besarmu pasti akan termasyhur di mana-mana"

Sword Master aka Pedang Tuan Muda Ketiga/Pendekar Gelandangan - Khu LungWhere stories live. Discover now