Bab 22. Hukum yang Tegas

772 15 0
                                    

Pengaruh Thi-lo-piautau masih tertanam dalam hati masing-masing orang, karena itu semua orang tak bisa tidak harus tunduk kepadanya.

Yang mengherankan, kenapa dalam keadaan dan situasi seperti ini tiba-tiba saja ia menyinggung soal rumah tangganya, sedang soal bendera perusahaan yang patah dan piausu yang dihina malahan tidak disinggungnya sama sekali.

Berbeda dengan Cia Siau-hong, ia dapat menangkap bahwa di balik pertanyaan sekitar rumah tangga perusahaannya itu, pemuda tersebut sesungguhnya mempunyai maksud yang mendalam.

Kesedihan yang mencekam wajah Thio Si, tampak jelas bukan dikarenakan terkenang oleh budi kebaikan Thi lo-piautau, melainkan merasa murung dan menyesal karena ia telah melalaikan kewajiban serta tanggung jawabnya.

Pemuda itu menghela napas panjang, tiba-tiba tanya lagi:

"Bukankah kau menikah pada usia tiga puluh sembilan tahun?"

"Benar!", jawab Thio Si.

"Konon istrimu lemah lembut dan amat pintar, terutama dalam bidang masak memasak"

"Beberapa macam sayur yang sederhana memang masih bisa dimasak olehnya dengan lumayan!"

"Berapa anak yang kau peroleh darinya?"

"Tiga orang, dua lelaki satu perempuan!"

"Asal ada seorang ibu bijaksana yang mendidik anak-anaknya, di kemudian hari anak-anakmu itu pasti dapat sukses dalam usahanya"

"Semoga saja demikian!"

"Ketika mendiang ayahku meninggal dunia, ibuku selalu merasa kekurangan seorang pembantu di sisinya, bila kau tidak keberatan, suruhlah istrimu pindah ke ruang belakang untuk menemani dia orang tua"

Thio Si jatuhkan diri berlutut, kemudian......."Blang, blang, blang!", menyembah tiga kali di hadapan pemuda tersebut seolah-olah ia merasa berterima kasih sekali atas kebijaksanaan dari si anak muda itu mengaturkan keluarganya.

Pemuda itu tidak menghalangi perbuatannya, menunggu ia selesai menyembah, baru tanyanya lagi:

"Apakah kau masih ada pesan lainnya?"

"Tidak ada lagi!"

Sekali lagi pemuda itu menatapnya lekat-lekat, kemudian setelah menghela napas, katanya sambil mengulapkan tangannya:

"Kalau begitu, pergilah!"

"Baik!"

Ketika ucapan tersebut selesai diutarakan, tiba-tiba tampak butiran darah memercik ke mana-mana, menyusul kemudian Thio Si roboh terkapar di tanah.

Tangannya masih menggenggam sebilah pedang, pedang yang telah menggorok leher sendiri.

Sepasang tangan dan kaki Siau Te mulai dingin.

Hingga sekarang ia baru mengerti kenapa pemuda tersebut mengajukan pertanyaan sekitar rumah tangganya dalam keadaan begini.

Peraturan hukum dalam perusahaan Hong-ki-piaukiok memang ketat, siapapun di dunia ini mengetahuinya. Thio Si telah melalaikan tanggung-jawabnya untuk melindungi panji perusahaan, sudah sepantasnya kalau ia dijatuhi hukuman mati.

Tapi bila kita lihat dari kemampuan pemuda tersebut untuk membuat seorang kakek yang susah payah bekerja selama dua puluh enam tahun dalam perusahaan menggorok leher sendiri dengan hati yang rela, bahkan berterima kasih, dapat diketahui bahwa kepintaran pemuda itu serta ketegasannya menghadapi persoalan jauh di luar dugaan siapapun.

Darah yang berceceran di tanah dalam sekejap mata telah terguyur bersih oleh aliran hujan yang deras, namun rasa jeri dan ngeri yang terpancar di wajah piausu-piausu tersebut bagaimanapun derasnya hujan juga tak akan mengguyurnya hingga lenyap.

Sword Master aka Pedang Tuan Muda Ketiga/Pendekar Gelandangan - Khu LungWhere stories live. Discover now