"Apa yang tidak mungkin, Eguchi?" Tanya Kazama-sensei.

"Bukan apa-apa, sensei." Balas Lainne tergagap. Ia sama sekali lupa di mana ia berada.

"Kau sudah terkenal sering mengacaukan kelas, Eguchi. Bagaimana kalau kau sesekali diam di dalam perpustakaan dan membuat sebuah essay yang indah untukku?" Lanjut Kazama-sensei.

"Aduh, jangan, sensei." Lainne lupa bahwa wajah memelas hanya akan membuat sensei yang satu ini meneruskan hukumannya.

"Lima lembar HVS A4 bolak-balik penuh tulis tangan, tentang pelajaran saya tentunya. Dan saya ingin melihatnya besok pagi di meja saya." Tukas Kazama-sensei.

Lainne tidak punya kesempatan membalas karena Kazama-sensei sudah melanjutkan penjelasannya. "Oh, shit."

* * *

"Tenanglah, kawan. Akan kubantu." Ujar Rei sambil mengayunkan tasnya.

"Oh aku benci membuat essay. Tentang sejarah pula. Oh kenapa aku harus teriak tadi?" Gerutu Lainne.

"Lima lembar HVS itu memang banyak, tapi kalau kau hanya menulis kan tidak banyak. Akan kubantu, jadi jangan marah lagi dong." Sahut Rei.

Tetapi begitu mereka melangkah masuk ke perpustakaan, penjaga perpustakaan menyapa. "Suiro Rei? Kau dipanggil Igarashii-sensei ke ruang guru."

"Oh, benarkah?" Rei terkejut. Ia tidak pernah, dan sebenarnya tidak ingin berhubungan dengan guru itu, sekalipun ia wali kelasnya.

"Kau dipanggil? Aduh, jadi aku harus kerja sendiri?" Sahut Lainne kesal.

"Aku akan segera kembali. Kau mulai saja memilih dan membaca buku." Rei berucap sebelum ia menghilang ke balik pintu.

Tetapi berapa lama pun Lainne menunggu, Rei tak kunjung kembali. "Ke mana dia?"

Lainne hanya berhasil menulis 3 lembar. Itu pun butuh banyak perjuangan. Ia sudah kehabisan ide mau menulis apa.

Tiba-tiba ia mendengar pintu perpustakaan terbuka dan seseorang melangkah masuk. Dari sudut matanya ia langsung mengerti siapa yang masuk dan langsung membuang muka.

"Kau belum selesai dari tadi? Ini sudah jam berapa nak?" Ujar orang itu.

Lainne hanya mendengus dan melanjutkan membacanya yang dari tadi tidak maju-maju.

"Kau terlalu serius mengerjakannya. Toh juga takkan dibaca oleh Kazama-sensei." Tukasnya lagi.

"Oh diamlah. Tumben sekali orang sepertimu bisa menginjakkan kaki ke perpustakaan, insecto." Balas Lainne.

"Berhenti memanggilku seperti itu atau takkan kuserahkan titipan Rei ini." Balas Tetsuya kesal.

"Dia titip apa?" Lainne mengalihkan pandangan pada kertas di tangan Tetsuya.

"Entah. Waktu aku mau mengambil tas di kelas ia menitipkan ini padaku." Tetsuya membuka lipatan kertasnya.

"Wah, makasih! Ini ringkasan buku yang kupilih! Astaga, ya Tuhan..." Lainne ternganga.

"Cepat selesaikan. Dasae bodoh." Ujar Tetsuya sambil menarik kursi lalu duduk.

"Kenapa kau duduk? Pulang sana." Tanya Lainne heran.

"Begitu kau memperlakukan orang yang menolongmu? Bagus sekali!" Balas Tetsuya. "Bangunkan aku kalau kau sudah selesai."

"Hah? Hei, apa-apaan?" Tapi Tetsuya sudah terlelap di sebelahnya. Lainne menggeleng heran sambil menatap Tetsuya.

Dengan semangat Lainne mulai menyalin sisa separuh ringkasan buku dari yang diberikan Tetsuya. Tetapi setelah beberapa saat ia menyalin, ia menyadari sesuatu yang janggal. "Ini bukan tulisan tangan Rei."

Ia mengerjap menatap kertas itu sebelum mendapat jawabannya. "Jangan-jangan ini... tulisan Hayashi?"

Lagi-lagi Lainne tak mengerti. Kenapa? Kenapa ia berbuat seperti ini padaku, sementara perkataannya sangat menyebalkan?

Sekitar setengah jam kemudian, Lainne selesai menulis penuh lima lembar essay itu. Ia merasa ingin mengirin e-mail pada Shanks dan tak lama tangannya sudah mengetik di ponsel.

To: shanksyonko@gmail.co.jp
Subject: None

Shanks, lagi-lagi ia membuatku bingung. Otakku separuh berharap dia hanya mempermainkanku, tapi entah kenapa aku tidak bisa berpikir bahwa dia seperti itu. Apa aku benar atau aku sudah mulai gila?
Please reply me this time!

Tangannya bergerak menekan icon send, dan ia tertegun mendengar suara ponsel bergetar. Dari manakah asalnya? Sayangnya bunyi getar itu hanya sesaat sehingga Lainne tidak sempat mencari sumbernya.

Hanya imajinasiku saja. Pikirnya. "Oi, ayo bangun. Aku sudah selesai."

Setelah beberapa kali merasa terguncang, barulah Tetsuya terbangun. "Oh, sudah?"

Lainne membereskan alat tulisnya dan mengembalikan buku sementara Tetsuya mengusap matanya dan menguap keras sebelum akhirnya mereka pulang.

Dalam perjalanan pulang, Tetsuya tampak membuka ponsel dan raut wajahnya berubah begitu melihat layar. Begitu drastis sampai Lainne bertanya, "Ada apa?"

"Tidak, bukan apa-apa." Sahut Tetsuya sambil menutup kembali ponselnya dan menyelipkannya dalam saku celana.

Namun otaknya masih berpikir apa kata-kata yang tepat untuk membalas e-mail yang diterimanya dari siapa lagi kalau bukan pujaan hatinya.

Don't Call Me 'Akage'!Where stories live. Discover now