Nggak Din, nggak usah takut buat nolak. Bani nggak bakal berani ngapa-ngapain lo di depan Bundanya. Batin Dinda.

"Tuh Din, Bani mau ngomong sama kamu." Heriska sepertinya tidak peka dengan ekspresi Dinda yang menunjukkan keengganan untuk bicara dengan Bani.

Dinda merutuk dalam hati, kenapa juga mamanya itu punya tingkat kepekaan yang cukup rendah? Hah.

"Yaudah, ngomong di sini aja," kata Dinda menahan nada ketusnya agar tidak terlalu terdengar. Bukan karena Dinda takut kepada Bani, hanya saja Dinda tidak enak dengan Ambar.

Bani mempertajam tatapannya, mengirimkan pesan tersirat pada Dinda seolah berkata, "lo bercanda?". Bani masih menatap Dinda tajam. "Sebentar aja."

Dan dengan sangat terpaksa Dinda pun mengekori Bani yang sudah lebih dulu berjalan ke arah gazebo yang jaraknya tidak terlalu jauh dari tempat Heriska dan Ambar berada, tapi cukup untuk tidak membuat percakapan mereka terdengar ke sana.

"Cepetan, gue udah mau pulang!" Sahut Dinda setibanya di gazebo. Dinda bersedekap, berhadap-hadapan dengan Bani yang meskipun berdiri bersandar tetap jauh lebih tinggi dari Dinda.

"Gak usah berasa penting. Gue juga ogah lana-lama sama lo." Bani menegakkan berdirinya dan mengambil beberapa langkah lebih dekat ke arah Dinda membuat gadis itu mengambil satu langkah mundur untuk setiap langkah yang diambil Bani.

Tau kalau sia-sia dia mempersempit jarak dengan Dinda karena gadis itu yang terus melangkah mundur, Bani pun berhenti melangkah. "Ok, gue akan to the point. Gue mau soal lo liburan di sini nggak pernah lo ceritain ke siapapun."

Dinda mengerjapkan matanya begitu Bani selesai bicara. Udah? Itu doang? Yaelah, siapa juga yang mau cerita-cerita! Dinda mengangkat telapak tangannya. "Nggak usah repot-repot, gue gak ada niat sama sekali buat ember. Udah nih? Gue balik kalo gitu!" Tepat ketika Dinda berbalik Bani menahan lengannya.

Setelah selama ini Bani selalu menyiksa Dinda di sekolah dengan 'hadiah'nya serta empat hari belakangan ini selalu mengintimidasi Dinda di villanya, ini adalah kali pertama Dinda dan Bani melakukan kontak fisik. Selama ini Bani tidak pernah menyentuh seinci pun kulit Dinda meskipun kerap kali membullynya.

Jadi wajar kalau Dinda agak shock, tidak menyangka Bani akan menahan lengannya. Karena biasanya untuk menghentikan Dinda, Bani hanya butuh menggunakan nada bicaranya yang mengintimidasi. Dinda melirik tangan Bani yang masih memegangi lengannya dengan alis terangkat sebelah. "Apa?"

Bani refleks melepaskan tangannya. "Gue serius. Sampe ada satu orang aja yang tau soal ini, abis lo sama gue!" ancam Bani.

Dinda mengedipkan matanya. Tiba-tiba dia merasa ini sungguh tidak adil. Memang siapa Bani sampai bisa mengancam Dinda seperti itu? Kenapa pula Dinda harus takut dengan ancaman Bani?

"Lo 'kan udah ngancem gue soal lo yang punya dua kepribadian,"

"Gue nggak punya dua kepribadian!" potong Bani.

"Ya apapun itu lah! Terus sekarang lo ngancem gue lagi buat nggak nyebarin soal liburan ki--tunggu gue nggak mau pake kata kita buat lo sama gue. Ya intinya liburan ini, deh. Tapi, apa untungnya buat gue?"

Bani mendengus. "Terus mau lo apa?" tanyanya mengerti arah pembicaraan Dinda.

Dinda tersenyum puas. Akhirnya! Tidak menyangka juga Bani memberikan penawaran. Setakut itu kah Bani? "Lo dan kacung-kacung lo harus berhenti gangguin gue! Dan juga stop ngebully anak-anak baru dan lemah. You guys aren't cool at all!"

Bani tau Dinda pasti akan meminta hal ini. Tapi kalau Bani tiba-tiba berhenti begitu saja anak buahnya pasti akan curiga. Tapi...

"Deal?" Tanya Dinda sambil mengulurkan tangannya minta dijabat sebagai bentuk kesepakatan.

Bani menatap tangan Dinda yang terulur dan wajah gadis itu bergantian sebelum akhirnya menghela nafas. "Deal soal nggak gangguin lo, tapi sisanya gak janji." Dan tanpa menyambut uluran tangan Dinda, Bani pergi begitu saja meninggalkan Dinda dan tangannya yang masih terulur di udara.

Golok mana golok?!

***
"Neeeek, besok bikin kue ini lagi ya, enak banget!" Dinda memeluk neneknya dari samping. Meskipun banyak yang bilang bau nenek-nenek itu tidak enak, tapi Dinda suka aroma yang menguar dari tubuh neneknya. Menenangkan.

"Iya, tapi besok kamu bantuin nenek bikin jangan cuma makanin doang, Din," ucap neneknya lembut.

Dinda terkekeh. "Yah nenek, nanti kalo Dinda ikutan jatohnya malah nggak enak."

"Dasar kamu, bisa aja."

Dinda tertawa sambil melepaskan pelukannya dari tubuh sang nenek. Ohiya, sudah tiga hari Dinda di rumah nenek. Heriska sendiri kembali pulang ke Jakarta kemarin dan membiarkan Dinda tinggal lebih lama di rumah neneknya itu. Lagipula Heriska memang sudah berjanji karena Dinda mau menemaninya ke Lembang.

Dinda sedang duduk di atas sofa di ruang keluarga menonton tv sambil menikmati rengginang kesukaannya saat ponselnya berbunyi. Dengan tatapan yang masih fokus ke arah televisi Dinda meraih ponselnya yang tergeletak di atas meja dan mengangkat panggilannya. "Ha--"

"Din, mama sama papa lagi di perjalanan menuju Lembang, ini baru masuk tol dalam kot--kota.."

Dinda mengernyit mendengar suara ibunya yang seperti orang menahan tangis. "Ma? Mama kenapa?" tanya Dinda panik. Dinda bahkan menegakkan tubuhnya yang semula bersandar. "Mama terus ngapain ke Lembang? Ada apa?"

Dinda mendengar suara isakan di sebrang sana membuat Dinda semakin panik. Ada apa dengan ibunya?

"Din, ini papa, sekarang mama kamu lagi nggak bisa ngomong. Sahabat mama kamu, yang kemarin kamu kunjungi, meninggal dunia tadi pagi, sekarang mama sama papa lagi di perjalanan ke Lembang."

Dinda terhenyak. Rasanya seluruh bulu kuduk Dinda meremang. Bahkan terkejut saja tidak cukup menggambarkan perasaan Dinda saat ini. Kesedihan pun turut menghampirinya. Wajah Ambar yang cantik dan sangat anggun langsung terbayang di wajahnya. Empat hari rupanya sangat cukup bagi Dinda untuk mengukir kenangan tentang Ambar di kepalanya.

"I...innalillahi," Dinda bahkan cukup kesulitan untuk mengucapkannya seolah yang dia dengar itu hanya mimpi.

"Din, kamu minta tolong sama A' Feri buat anterin kamu ke Lembang, supaya kamu sampe sana duluan biar bisa temenin anaknya almarhumah, kasihan dia pasti sendirian menunggu keluarganya dari Jakarta. Apalagi ayahnya ada di luar negeri."

Bani. Ah, Dinda jadi teringat cowok itu. Bagaimana keadaannya? Pasti sangat menyakitkan untuknya. Mengingat seberapa dekatnya Bani dengan bundanya.

"Din?"

Dinda mengerjap, "i--iya pa, Dinda siap-siap dulu."

"Oke, sampe ketemu di sana."

"Hmm." Dan klik, sambungan pun terputus. Dinda mengerjapkan matanya, masih mencoba mencerna apa yang baru saja di dengarnya. Dan tiba-tiba setetes air mata menitik dari matanya, tidak bisa berbohong kalau Dinda bersedih akan kepergian Ambar, apalagi ini hanya berselang beberapa hari saja sejak pertemuannya. Dan juga, Bani. Dinda tidak bisa berbohong kalau dia langsung memikirkan Bani.

Apa dia...baik-baik aja?

Infinity [RE-POST]Hikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin