Kian mengerutkan alis, heran mendengar Ares menanyakan perihal keinginannya kemarin. Mereka berdua sedang berdiri berhadapan di selasar rumah sakit. Dia pikir Ares hanya akan menganggapnya angin lalu.

"Kalau kamu jadi relawan, rencananya kamu mengabdi jadi apa?" tanya Ares lagi tanpa menunggu jawaban Kian. "Ilmu apa yang akan kamu praktekkan?"

"Kenapa?" tanya Kian tidak nyambung. Tapi sungguh ia tidak mengerti.

"Dengan profesi kamu sekarang, apa yang bisa kamu terapkan? Kamu bisa pakai tensimeter?"

Kian membuka mulutnya, hendak menjawab. Tapi urung karena ia sendiri jadi bingung. Kemudian Kian menyadari sesuatu. Sesuatu yang pasti membuatnya marah. Ares meremehkannya!

"Kegiatan relawan nggak harus di bidang kesehatan." Kian menatap mata Ares dengan tajam.

"Memang, tapi pekerjaan kita ada di bidang kesehatan," balas Ares tak mau kalah, berusaha membuat Kian mengerti. "Tentu saja di situ kita bisa mengabdi."

Kian sadar apa yang dikatakan Ares ada benarnya. Namun ia tidak mau menyerah, gengsi dan harga dirinya tidak bisa menyerah begitu saja. Dan sedetik kemudian, matanya sudah berkaca-kaca karena marah. "Jangan merendahkan profesi saya!"

"No, I'm not!"

"But you're mean!"

"I'm not mean. Saya hanya ingin kamu ikut saya, untuk membuktikan ucapan kamu waktu itu. Saya..." Ares balas menatap Kian dengan geram. Ia tidak habis pikir, wanita di depannya ini bisa benar-benar membuatnya jengkel sendiri.

"Then I'll prove! Puas!?" Kian kemudian langsung berjalan meninggalkan Ares yang menatapnya sebal. Kian hanya dapat berharap Ares tidak melihat air matanya yang terjatuh dan langsung diusapnya dengan tangan. Dasar PMS sialan.

"Temui saya besok, setelah saya selesai operasi!"

Kian tetap berjalan, tidak mempedulikan teriakan Ares yang menggema di sepanjang selasar. Selama berjalan, Kian jadi berpikir ulang. Apakah barusan perbuatannya keterlaluan? Sepertinya ia sedikit lebay, pakai acara menangis segala. Duh, memalukan. Dasar hormon wanita.

Kian berjalan dengan kesal. Namun ketika hampir sampai di tempat parkir motor, tiba-tiba sebuah mobil berwarna biru berhenti di dekatnya, membuatnya hampir mengumpat. Untung saja ia melihat wajah Dion yang tersenyum lebar lebih cepat.

"Hai? Kaget, ya?" Dion tetap tersenyum sambil menatap Kian geli. "Nggak lupa kan punya janji makan sama gue?"

Kian balas tertawa. "Gue lebih ingat kalau kita janjian di tempat makan, bukan di sini."

"Cepat masuk!"

Mau tak mau Kian masuk ke kursi penumpang di sebelah supir. Setelah memastikan Kian memasang sabuk pengaman, Dion memacu mobilnya pergi meninggalkan rumah sakit.

"Ehm..." Kian pura-pura membersihkan tenggorokannya. Dion tak mengajaknya bicara atau melakukan apapun untuk memecah keheningan. Hal itu membuat Kian risih. "Kita mau makan di mana?"

"Nanti pasti juga tahu," jawab Dion sambil mengulum senyum. Matanya tetap fokus memandang jalanan.

"Hmm..." Kian memainkan jari tangannya, bingung ingin melakukan hal apa lagi. Akhirnya ia memilih satu-satunya pilihan terbaik yang melintas di kepalanya. "Boleh gue muter radio?"

"Lakukan apa yang ingin kamu lakukan, Kian. Mau nyanyi juga boleh," jawab Dion sambil menahan tawa, tetapi masih fokus menyetir.

"Apasih..." Kian tersipu. Ia pun menyalakan radio dan memilih untuk diam mendengarkannya selama perjalanan.

Inevitable DestinyWhere stories live. Discover now