[X] One of These Night

5.2K 637 62
                                    

[X] ONE OF THESE NIGHT

“Please… Come back to us. Come back to me, You Idiot!
I need you one more time, I need you by my side…
Please… Hurry! I love you, Jeon Jungkook—“

Goodbye, we said our awkward goodbyes
As I turned around and went on my went on my wey
It felt so far~

Kinan meremas kasar ponselnya, memejamkan mata dan mengatur napasnya yang terengah, tapi, gadis itu tetap berusaha tersenyum. Ini akan segera berakhir, dia yakin itu. Meski dia belum bisa memrediksi hasilnya, tapi dia bisa sedikit bernapas lega.

Titik terang, atau lembah yang gelap dan tak berdasar yang akan dia temui di hasil  akhir nanti?

“Kau belum tidur?” Junhee datang tepat setelah Kinan menyelesaikan pemutusan sambungannya, untung saja tepat waktu, pikir gadis itu. Padahal, Junhee ‘kan tahu tentang Jungkook, kenapa Kinan harus takut ketahuan? Ah, ini hanya reflek.

Gadis itu menggeleng pelan, “Aku tidak bisa tidur, Jun. Aku butuh penjelasan tentang perubahan rencana itu.” Ucapnya, Junhee melangkah mendekat, dan duduk di kursi yang ada di samping ranjang gadis itu.

“Sepertinya Min Gyu datang menemui direktur, dan dia meminta sedikit keringanan untukmu. Tapi, bukan kah itu bagus—jika kau bertugas dalam formasi tim—seperti ini?” Junhee tidak salah bicara ‘kan? Ini bagus karena akan ada yang membantu gadis itu. Kecuali jika Kinan rela babak belur untuk yang ketiga kalinya dan tidak akan ada yang menemukannya—lagi. Pilihan bodoh jika gadis itu memilih yang nomor dua.

“Aku tidak masalah jika itu kau dan chesee, tapi, tidak dengan Tzuyu. Aku takut hilang kendali dan membunuhnya saat itu juga,  jika dia membuatku kesal. Dan, aku tidak mau dia tahu tentang—misiku  yang—sebenarnya. Sebisa mungkin, aku harus mencegah Tzuyu bertemu dengan Jungkook.” Jelasnya, meski kecil kemungkinannya, Kinan takut jika Tzuyu masih mengingat Jungkook juga. Mereka alumni Junior High School yang sama. Jika Tzuyu sampai bisa mencium bau-bau mencurigakan dari tubuh Kinan, itu akan menjadi masalah besar.

Bukan maksud Kinan berburuk sangka, hanya saja, bukankah mencegah lebih baik dari pada mengobati? Setidaknya, tahan sedikit sampai ada jalan keluar.

Junhee membuang napas kasar. “Kenapa masalahmu serumit ini, Im? Kau tahu, aku sedikit menyesal karena sudah mengetahui semuanya.” Jelas Junhee, ya, semua terasa semakin rumit kala dia tahu tentang semua kebenaran yang terjadi. Tentang Kinan dan Jungkook, tentang The Red Bullet dan Bulletproof Boy Scout, ini sedikit membuatnya ikut frustasi.

“Begitukah?” Kinan tertawa, “Aku juga tidak tahu, kenapa semuanya menjadi serumit ini. Aku rasa—aku mulai tidak sanggup menjalaninya. Tapi, jika aku berhenti, dia akan semakin menjauh.” Pegangannya pada selimut yang membungkus tubuh bagian bawahnya itu kian mengerat, Kinan bahkan sudah tidak berani menatap Junhee yang duduk di sampingnya. Kepalanya tertunduk, dia terisak lagi. Sepertinya sungai air mata di pelupuk matanya belum ingin surut.

“Apa dia sangat berharga untukmu?” Tanya Junhee—pertanyaan retoris yang sebenarnya tidak perlu. Hanya saja, Junhee ingin tahu alasan yang sebenarnya. Junhee tahu Kinan butuh seseorang  yang  bisa dia ajak bercerita, meski mereka dekat, Junhee akui Kinan bukan orang yang dengan mudah bersikap terbuka. Dan untuk kali ini, Junhee butuh dipercaya. Dia bersumpah, dia adalah pendengar yang baik. Meski terlibatnya dia dalam kasus ini belum bisa membantu banyak, tapi dia akan membantu dengan sekuat yang dia bisa. Itu ‘kan gunanya seorang teman?

Kinan menganggukkan kepalanya. “Dia lebih dari kata berharga untukku, dia adalah bintang yang berbaik hati—jatuh untuk menerangi hidupnya yang gelap. Kau tidak tahu, betapa tidak bahagianya masa kecilku sebelum bertemu dengannya. Papa dan mama sangat sibuk, mereka tidak pernah menemaniku di rumah. Bayangkan saja, di rumah sebesar itu, aku harus tinggal dengan di temani para maid saja. Di sekolah aku dikucilkan, tak ada yang mau berteman denganku, sampai Jungkook—si murid baru itu datang.” Kinan tersenyum mengingat masa lalunya. Masih dia ingat wajah manis Jungkook saat itu. Sosok itu tiba-tiba terlihat nyata, otaknya mengingat Jungkook dengan sangat baik. “Dia murid pindahan, pria lugu yang manis itu adalah siswa pertama yang mau tersenyum padaku. Dan ketika dia mau menempati tempat duduk yang kosong—disamping tempat dudukku, untuk pertama kalinya aku membalas senyumnya. Dan mulai dari sanalah kami dekat. Dia memberiku warna baru yang belum pernah aku lihat, Jungkook hanya seorang anak asuh di panti asuhan, tapi, dia bisa tersenyum secerah itu. Aku sangat sering berkunjung ke panti, bertemu bunda dan juga saudara-saudara Jungkook yang lain. Dari sanalah, aku mulai kembali menghargai hidupku. Mereka yang hidup tanpa kedua orang tuanya saja masih bisa bahagia, mereka yang bahkan hidup seadanya, masih bisa saling membantu satu sama lain. Kau tahu, aku bahkan lebih senang tidur berdesakan dengan anak panti, dari pada tidur di ranjang besarku di rumah. Rasanya diterima itu ternyata sangat membahagiakan ya, Jun?” Kinan semakin bersemangat, tangisannya masih berlanjut. Tapi, senyum itu pun masih kentara di wajahnya. Membuat Junhee ikut menangis. Tersenyum sekaligus menangis? Bisakah kau hanya memilih salah satunya saja?

THE RED BULLET [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang