Epilog

15.7K 632 18
                                    

Lagi-lagi aku harus dihadapi dengan tumpukan berkas di meja kerjaku. Aku mendesah panjang. Padahal aku hanya cuti beberapa hari.

Di umurku yang ke dua puluh tiga ini, aku bisa dikatakan cukup mapan. Dengan bekerja sebagai komisaris di salah satu perusahaan ternama di Jakarta. Dan juga siap untuk menikah, namun aku belum juga memiliki calon. Oh, betapa sengsaranya diriku.

Setelah beberapa jam berkutat dengan pekerjaanku. Akhirnya kini aku bisa bebas, dan pulang ke rumah. Aku melihat jam di pergelangan tangan kiriku, sudah pukul delapan malam. Masih cukup sore untuk pulang ke rumah.

Akhirnya aku memutuskan untuk menikmati se-cangkir kopi beserta kue di kafe seberang kantorku. Kini aku sudah duduk manis di salah satu bangku yang disediakan kafe ini.

Sesekali menyeruput kopi, aku memperhatikan keadaan disekelilingku. Cukup ramai pada malam hari ini. Aku menatap ke luar jendela, kebetulan aku duduk di sebelah jendela yang langsung menghadap ke jalan raya.

Namun mataku terhenti pada seorang perempuan yang berjongkok di parkiran kafe ini. Padahal cuaca sedang tak bersahabat malam ini.

Aku memperhatikannya, dan rupanya dia sedang menolong anak kucing yang kebasahan akibat hujan. Dia dan anak kucing itu segera menepi ke dekat jendela kafe, dan kebetulan lagi tak jauh dari tempatku.

Kali ini hatiku terenyuh. Aku bangkit dari kursi, berjalan ke luar kafe dan menghampiri si perempuan dan kucingnya.

"Ada yang bisa saya bantu?" Tawarku padanya. Reaksinya cukup kaget dengan menatapku.

Aku menatap mata bulatnya. Tak asing bagiku. Padahal sudah tujuh tahun, dia tak banyak berubah.

Namun ekspetasiku tak sama dengan apa yang terjadi. Dia tak mengenaliku. Dia bertanya. "Apa boleh?"

Aku mengangguk. "Tentu saja boleh."

Dia tampak berpikir. "Apa aku boleh meminjam jaket, atau lainnya yang bisa membuat dia hangat." Dia menunjuk anak kucing yang berada di pangkuannya.

"Oke tunggu sebentar." Aku berlari menuju mobilku yang terparkir, mengambil selimut kecil yang sengaja ku taruh di mobil.

Aku memberi padanya. Dia menjawab. "Terima kasih."

"Apa kau mau ikut denganku masuk ke dalam kafe, cuaca sedang tak bagus untukmu dan kucingmu, nona."

Dia pun memberi anggukan sebagai jawabannya.

Lalu aku dan dia masuk ke dalam, dan duduk di tempatku tadi. Ah, untung kopi dan kue yang belum ku makan masih utuh.

"Anda mau pesan apa? Saya yang traktir." Ucapku, dia terkejut lalu menatapku.

"Maaf, tetapi aku sudah kenyang."

Dia masih belum mengenaliku. Apa karena bulu tipis yang berada di sekitar daguku yang sengaja tak ku cukur, dan model rambut yang aku rubah.

"Tif, apa kamu lupa padaku?" Tanyaku begitu saja pada dirinya, Tiffany.

Dia terkejut. Lalu memperhatikan wajahku dan menunduk malu. "Kak Darrel?"

"Jangan panggil aku kak lagi. Jadi bagaimana kabarmu?"

Dia masih menunduk, mengelus kucing yang ada di pangkuannya. "Baik, setelah menjalani operasi tujuh tahun yang lalu. Kalau kamu?"

"Ya, bisa kau lihat. Aku tak terlalu cukup baik. Aku cukup tertampar oleh kenyataan." Jawabku lalu menyeruput kopiku pelan.

"Bohong."

Aku terkekeh. "Tif, setelah kamu pergi, hidupku cukup berubah." Ucapku dengan nada sedih.

"Bohong."

ComparableWhere stories live. Discover now