Dan Setelahnya

5.7K 428 9
                                    

Subuh-subuh kami diantar ke stasiun oleh Om Satria, sekaligus Om Satria nantinya langsung berangkat menuju kantornya. Saat berpamitan tadi Paula tampak malu-malu untuk memelukku, tidak seperti Tante Verna yang memelukku dengan erat seolah aku memang anaknya yang akan pergi merantau. Hangatnya keluarga ini sangat terasa..

“Hati-hati ya Den, kapan-kapan nginep lagi di rumah. Nanti om ajak ke tempat kakeknya Zita, kita ngobrol soal zaman perjuangan” kata om Satria sambil menepuk-nepuk kepalaku, kemarin kami mengobrol panjang soal zaman-zaman pra kemerdekaan RI.

“Siap om! Matur nuwun loh om, nyuwun pangapunten menawi wonten klenta-klentunipun kula ingkang dados cuwaning ati om Satria (mohon maaf kalau ada kesalahan saya yang tidak berkenan di hati) ” jawabku sambil sungkem kepada om Satria yang tertawa lepas mendengar bahasa jawa halusku.

Akhirnya kami berpisah, Zita memeluk dan mencium pipi ayahnya.

“Bye daddy! I love you!” katanya riang, lalu om Satria masuk ke mobil dan kembali melanjutkan perjalanannya ke kantor. Zita kemudian menyusulku di depan gerbang loket masuk stasiun. “Yuk”

“Yuk. Berat gak bawaanmu? Sini kubawain” ujarku sambil meraih tas tenteng Zita.

“Ih Den gembolan kamu lebih banyak daripada gembolanku kali!” sungut Zita. Aku menyeringai lebar, kembali berupaya percaya kalau Zita sekarang pacarku.

***

“Bisa ya punya pasukan delivery sendiri” komentar Zita setelah melihatku menyerahkan tasku yang berisi baju kotor kepada Trisna yang sudah berlalu dengan motornya. Sebelumnya aku memang meminta Trisna yang baru masuk kelas jam 1 siang itu untuk menungguku di stasiun dan mengantarkan baju kotorku ke kostan. Sekarang aku dan Zita sedang berjalan kaki menuju kampus.

“Wah jangan salah Ta entar di kostan dia nagih ongkos, kan dia emang bisnis begituan, anter-anter barang sekitar kampus. Haha” dan sebetulnya terkadang aku juga melakukan hal itu untuk Trisna dan teman-temanku. Bisa dibilang simbiosis mutualisme ala mahasiswa.

“Enak dong, berarti kalo aku mau anter apa-apa bisa minta tolong Trisna”

“Jauh-jauh amat” balasku cepat, membuat Zita bingung seketika.

“Ha? Jauh?”

“Tinggal minta tolong aku susah amat sih”

“Oh iya, lupa udah punya pacar” kata Zita seraya menggandeng tanganku, mukaku rasanya merah padam. Yang untungnya tidak terlalu terlihat karena matahari belum seutuhnya menyinari lingkungan sekitarku.

Ah, ingin rasanya aku cepat-cepat bertemu dengan Haley si bocah sialan itu dan memberitahunya kalau ‘ayam’ ini berhasil membuktikan kalau ia bukanlah ayam dalam konotasi yang dimaksudnya.

“Den, tangan kamu kenapa?”

“Hah? Apaan?” ganti aku yang bingung dengan pertanyaan Zita. Ia mengangkat lengan kananku dan memperhatikan dengan seksama sembari kami masih terus berjalan. Aku juga ikut memperhatikan tanganku, mencoba mencari apa yang salah dengannya.

“Iya, tangan kamu kenapa?”

“Kenapa gimana nih….. Kayanya baik-baik aja deh?” aku mulai was-was, jangan-jangan ada sesuatu dengan tanganku tapi aku tak menyadarinya.

“Kok kosong Den? Kayanya butuh jam tangan deh”

“YEE!!” sahutku kesal sekaligus lega, Zita tertawa kecil melihatku.

“Iyalah Den, masa asdos gak pake jam tangan” Zita tampak merogoh mencari sesuatu di tasnya. “Berhenti dulu Den”

Langkah kami berhenti sejenak dan kami menepi ke pinggir trotoar walau tidak terlalu banyak orang yang lewat. Zita masih mencari sesuatu di tasnya dan kemudian mengeluarkan plastik merah yang di dalamnya terdapat kotak kubus kecil lalu memberikannya kepadaku. Terang saja aku bingung, apalagi ketika Zita memintaku untuk membukanya.

“Lah..kosong?” aku mengenali kotak itu sebagai kotak jam tangan, tapi tidak ada isinya. Hanya booklet kecil dan baterai cadangan.

“Sini tanganmu” Zita menarik tangan kananku dan memasangkan jam yang sedari tadi dipegangnya. Jam tangan bermerek Luminox berwarna hitam dan merah. Senyum gembiraku tak bisa kutahan lagi.

“Ini dalam rangka apa nih?” tanyaku sambil mengangkat tangan kananku di depan Zita, kami kembali melanjutkan langkah kami.

“Emang pengen ngasih aja, hihi”

“Kado officially jadian?” terucap begitu saja dari mulutku, muka Zita mulai memerah.

“ Enggak Den emang pengen ngasih aja, masa asdos gak pake jam tangan. Ngasdos aja telat kan tuh kemaren” Zita setengah menyindir peristiwa saat aku telat masuk ke kelasnya. Aku tertawa mendengar jawabannya. “Ya kebetulan aja kemaren kamu nembak, tapi mah bukan itu. Hihihi”

“Yeuuuu. Yaudah dari aku nanti ya…Awal bulan ”

“Gak usah Deenn!” sergah Zita cepat

“Apasih, kan aku pengen ngasih” aku tidak memedulikan Zita yang terus melarangku memberinya kado atau apapun. Tiba-tiba aku teringat sesuatu. “Ah iya, entar ketemu Haley ah”

“Hah? Ah iya aku juga mau ketemu Haley”

“Ngapain?”

“Laporan” jawab Zita ringan, kami sudah sampai di fakultas kami. Masih belum terlalu banyak mahasiswa yang datang tentunya, karena waktu masih menunjukkan pukul 07.23.

“Laporan apa?” Zita tidak menjawab tapi senyumnya tak kunjung surut. Sekarang kami sudah berada di depan gedung dosen. Itu berarti aku harus masuk ke ruangan jurusanku untuk setor muka dan briefing pagi singkat. Zita pun harus bertemu dengan ketua kepanitiaannya untuk membicarakan prokernya dalam waktu 5 menit mendatang sampai waktu masuk kelas nanti di gedung yang lain.

“Meet me after class please ?” pinta Zita.

“Of course I will” jawabku sambil menggenggam tangan Zita.

“Bye hon, love you” ia memelukku.

“Love you too. Makasih banyak hadiah jamnya” Zita melepaskan pelukannya, melenggang pergi sambil melempar sebuah ciuman kecil di udara yang langsung membuat jantungku berteriak kegirangan. Aku masuk ke dalam ruangan jurusan dengan wajah sumringah, tak peduli dengan tatapan aneh dari dosen-dosen lain yang sedang menikmati koran dan kopinya.

“Wah Denden pagi-pagi sumringah banget, hayo abis ngapain hayo??” aku hanya tertawa menanggapi mas Michael yang usil menggodaku.

Cinta Tak Perlu DeskripsiWhere stories live. Discover now