"Sini gue siap nyembuhin. Hahaha.." Tiyo, pegawai bagian reporting yang telah usai makan siang, datang dengan tertawa-tawa. Kemudian ia ikut mampir di meja kerja Kian untuk mencari tahu yang terjadi.

"Yee, najis!" balas Ana malas.

"Nggak usah lebay deh, Na. Biasa aja. Emang udah waktunya nikah dia. Ganteng-ganteng gitu masa jomblo terus." jawab Kian santai menanggapi Ana yang sudah terkenal lebay sejak jaman kuliah dulu. Ia kembali meneruskan pekerjaannya yang tertunda akibat kedatangan Bu Sumarni tadi.

"Tapi kan harusnya nikah sama gue, Ki." Ana yang terduduk di kursinya, merenungi nasib mirisnya akan cinta tak terbalas. Bahkan tidak akan pernah terbalas.

"Ngimpi, lo! Mau di kemanain si Dani?" balas Tiyo sambil tertawa-tawa. Ia mengambil undangan miliknya sebelum ngacir ke meja kerjanya sendiri. Ana memang sudah berhubungan dengan Dani, teman kuliah Tiyo serta kakak tingkat Ana dan Kian. Mereka berpacaran hampir dua tahun lamanya.

Kian juga ikut tertawa, tapi tiba-tiba ia terdiam, teringat akan dimana posisi mobilnya sekarang. "By the way, tebengin gue ke nikahan mas Yudis, ya?"

"Oke. No Problem. VW lo ke mana, emang?" Ana bertanya, pandangannya tetap pada komputer di depannya untuk menginput data dari bagian Obgyn.

"Mau gue jual, udah nggak sanggup ngrawatnya. Buat tambah-tambah tabungan gue juga lah."

"Oke. Gue ke kontrakan lo hari Minggu."

***

"Sudah, pak! Berhenti di depan situ saja." Sahut Kian. Ia sedang berboncengan mesra dengan tukang ojek, berduaan menaiki motor membelah jalanan kota.

Ketika tukang ojek itu menepikan motornya dan berhenti, Kian melompat turun dari motor. Sesaat ia merogoh-rogoh tasnya, mencari uang untuk membayar jasa ojeknya dan menyerahkannya pada tukang ojek tersebut.

"Makasih ya, neng." Sahut tukang ojek tersebut sebelum melajukan motornya kembali.

Kian melangkahkan kakinya, menyusuri trotoar. Di pinggirnya berdiri beberapa café, restoran, dan tempat makan. Namun, tujuannya di wilayah ini hanya satu. Kian tak pernah berniat untuk mampir di cafe yang lainnya.

'TeCo Bar'

Begitulah tulisan yang terpampang di depan café yang Kian masuki. Tempat itu menjual banyak sekali jenis teh dan kopi. Dari yang mahal hingga yang paling murah ada di sana. Tempat favorit Kian semenjak ia datang merantau di kota ini.

"Hai, Jo." Sapa Kian setelah memarkirkan tubuhnya di dekat meja bar. Benar, bentuk tempat ini sudah seperti pub, lengkap dengan bar dan kursi-kursi tinggi, juga beberapa meja dan kursi. Bedanya, di sini tidak akan bisa menemukan beer, namun hanya teh dan kopi. Lengkap dengan dekorasi grinder lawas dan koleksi cangkir-cangkir antik. Dan pastinya, FREE WI-FI.

"Hmm.. Kalau gue liat dari ekspresi lo, lo mau lavender?" tebak Joshua yang nyengir melihat kedatangan salah satu pelanggan setianya itu, sok sekali bak peramal.

Kian menggeleng-gelengkan kepalanya. "Gue butuh chrysanthemum, pakai madu."

"Tumben." Joshua menaikkan alisnya. "Tapi oke, tunggu sebentar."

Joshua dengan cekatan meracik teh pesanan Kian. Mengira-ngira ketepatan suhu air yang ia tuang dan menyerahkannya pada Kian. Ia kemudian memberikan Kian dua sachet gula, sudah hafal dengan selera Kian.

"Gue ke meja pojok, ya Josh." Pamit Kian sambil membawa cangkir berisi teh pesanannya yang mengepul.

BRUK.. PRANNG..

Inevitable DestinyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang