Tiba-tiba lampu pijar menyala pada kepala kananku. Kenapa juga otaku yang pintar ini baru bekerja? Kuraih ransel biru dan mengeluarkan benda persegi panjang sang pahlawan kesiangan. Kudial nomor Jerry, berniat menelfonnya.

Namun,..

Sesuatu menghentikanku saat jariku hampir menyentuh nama yang terpampang di layar smartphone. Tangan kiri, tidak terlalu putih, tidak cantik, milik Gaza. Aku mengangkat pandanganku kearah lelaki yang tengah meringis, matanya terbuka dan tidak tertutup, ia sadar dan tidak pingsan. Otaku benar-benar bekerja menyaingi kecepatan cahaya, menyadari sesuatu.

"Kamu bercanda?" Ucapku kesal. Gaza terlihat mengulum senyum yang kutebak terdapat tawa terbahak-bahak di dalamnya.

Kuhempaskan tangannya kasar membuat tangan itu membentur pinggiran meja. "Sialan! Kau membodohiku? Kamu fikir ini lucu? Kamu fikir kepanikanku adalah lelucon? Kamu fikir bibirku ini tidak sakit? Kamu fikir darahku ini adalah selai strawberry?"

Gaza membuatku marah. aku mendorongnya hingga ia terjungkal dari kursinya. Rintihan kesakitan tidak kuperdulikan. Aku segera mencari jalan keluar setelah memastikan kunci pintu kurampas dari tangannya. Ia memang sempat mengatakan bahwa kunci cadangan yang ada pada satpam telah ia curi, melihat kebiasaannya sering keluar masuk perpustakaan diluar jam sekolah. Entah apa yang dia lakukan, untuk sekarang itu tidak penting.

Karakter komik itu telah mempermainkan seorang Utara. Jika fans saja bisa menjadi hatters, maka aku juga akan seperti itu. Jika benci saja bisa menjadi cinta, maka aku akan membalikkan keadaan dimana cinta menjadi benci. Ngaco! Aku memukul kepalaku yang tiba-tiba menjadi melankolis.

Hari semakin lama semakin sore, tapi lagi-lagi langkahku tertunda. Tangan itu lagi, tidak terlalu putih, tidak cantik, milik Gaza, mencekal lenganku memaksaku menoleh. Lagi-lagi menghentikan rencanaku seperti sebelumnya.

Lelaki berambut hitam pekat dengan perban yang menempel pada kepala bagian belakang telinganya. Ia menggaruk tengkuknya, "aku-minta maaf," suaranya terdengar lirih.

"Apa?" Aku mendengarnya dengan jelas, tapi aku perlu kepastian.

"Aku minta maaf." Oh, permintaan maaf ini membuatku ingin tertawa tiba-tiba. Lihatlah kawan, Gaza terlihat sangat manis jika berkata seperti itu.

"Tidak akan!" Tapi, marah bukanlah hal yang biasa aku terapkan dalam kehidupan sehari-hari. Marah yang bisa dibilang langka tidak boleh dibuang dengan sia-sia, karena dia harus meminta maaf dengan lebih tulus.

"Pelit!" Aku membelalakkan mata ketika tanpa diduga kata itu yang keluar dari mulut Gaza dan bukan permintaan maaf lagi seperti yang aku perkirakan.

Ia menghempaskan tanganku ketika kata 'pelit' keluar dari bibirnya. Balas dendam heh? Aku terus memperhatikannya mencari entah apa dalam tas. Kemudian ia mendekatiku kembali dengan satu plester yang ia bawa. Pokemon? Kemudian lagi,..

Astaga! Aku menahan nafas sejenak. Sedikit darah yang keluar dari bibirku telah berpindah ke ibu jarinya. Karakter komik ini berubah menjadi karakter novel romantis yang biasa aku baca. Kemudian ia menempelkan plester dengan gambar pokemon di bibir bawahku dengan hati-hati. Hanya beberapa detik karena ini bukan pembuatan film roman. Jadilah plester itu terpasang dengan sempurna. Kurasa aku perlu berselfie setelah ini, karena aku belum pernah melihat pengobatan bibir terunik yang seharusnya masuk dalam on the spot.

Kutepis tangannya lagi lebih keras, membuatnya mengaduh kesakitan. Sepertinya akan berbahaya jika lebih lama lagi terkurung bersama Gaza di ruangan ini. Ia lebih berani dari kelihatannya.

Drrt drrrtt

Sebuah ponsel berbunyi nyaring, Gaza mengabaikan kesakitannya mendekatkan ponsel pada telinga. Matanya menatap lurus kearahku, tapi otaknya berada jauh di sebrang telfon bersama lawan bicara. Aku menunggunya selama satu menit hingga kemudian ia menurunkan ponselnya.

"Bisakah kau menungguku? Aku keluar sebentar," Gaza menarik lenganku, dengan tujuan mengambil alih kunci yang kugenggam. Kini kunci itu telah berpindah tangan ke tangan Gaza.

"Tidak mau! Aku ikut atau aku mau pulang," jawabku yang lebih mengarah untukku sendiri.

"Nggak usah ngeyel, di luar ada anak Dharwa yang masih berkeliaran, mau dimakan mereka?" Paksa Gaza akhirnya memberitahuku. Pantas saja ia berkelahi, ternyata mereka mengusik kami lagi. Sebenarnya siswa Raya Wasita juga sering mengganggu mereka, hingga hukum timbal balik pun masih terus berlangsung hingga saat ini. Bukannya aku tidak takut, hanya saja berada di perpustakaan di jam sesore ini akan lebih menakutkan.

Gelengan kepala yang kuhadiahi pada Gaza membuatnya menghela nafasnya berat. Memang siapa juga yang mau ditinggal diruangan seperti ini sendirian, lebih baik ikut berantem.eh?

"Oke. Cepat ambil tasmu," Ucap Gaza mengalah. Segera kuturuti perintah Gaza sebelum ia berubah fikiran dan meninggalkanku di sini. Aku menghilang dari pandangan Gaza setelah berbelok pada satu rak yang mempertemukanku dengan segala Peralatan tulis yang masih tertumpuk manis di meja.

Brakk! Klek klek

Suara itu bagaikan hantaman besar pada otaku hingga menghentikan seluruh syaraf gerak tubuhku sesaat. Beberapa detik kemudian aku berbalik demi menatap pintu kayu itu telah tertutup dengan rapat, dan suara susulan setelah terbantingnya pintu dengan keras adalah pertanda bahwa Gaza telah menguncinya dengan baik.

"Shit!" Umpatan itu keluar begitu saja dari bibirku. Tidak biasanya aku mengumpat, tapi kali ini Gaza benar-benar keterlaluan.

Glek glek

Kuputar kenop pintu beberapa kali. Berharap suara tadi bukan berasal dari arah sini.

"Gaza sialan!" Teriakku keras berharap lelaki itu mendengarnya. Kakiku mendarat pada pintu itu, menendangnya berkali-kali. Hingga yang kudapat adalah rasa sakit karena tendangannya terlalu keras.

Jika saja aku tidak memilihnya sebagai anggota kelompok. Jika saja aku tidak tertidur hingga menunda kepulangan. Jika saja siswa Dharwa tidak kekurangan kerjaan dan memutuskan bersilaturahmi. Atau jika saja aku tidak bersekolah di sini. Jika saja,...jika saja. Terlalu banyak jika, jika saja itu tidak terjadi, maka aku tidak akan terkurung di sini. Ruangan ini gelap, karena waktu menunjukan pukul 17.45.

Tidak sepanik itu karena masih ada ponsel, setidaknya aku bisa bernafas lebih normal dari sebelumnya. Aku fikir kemarahan dari Jerry lebih baik daripada menangis ketakutan. Anak itu pasti akan banyak mengomel lebih dari ayah jika aku belum menampakkan batang hidungku lebih cepat. Segera kucari nomor ponsel Jerry dengan kelihaian jariku, kemudian kudekatkan ke telinga. Tidak lama, hingga kemudian suara itu terdengar nyaring di telinga.

"Pulsa yang anda miliki tidak cukup untuk melakukan panggilan ini,.."

Seketika dunia terasa kejam dan begitu sadis.

________Dangerous Of Utara_________

To Be Continued..

____________________________

Terima kasih sudah menyempatkan diri membaca "Dangerous of Utara".
Jangan lupa tinggalkan jejak anda pada gambar bintang di bawah ini 👇.
Saran anda merupakan hal yang paling saya tunggu.
Sampai bertemu lagi di part selanjutnya.
Follow: @Musmusculus3

Mata Angin (UTARA)Where stories live. Discover now