chapter 3

1.5K 9 0
                                    

Thata's view:

Suasana cafe tersebut memang tidak terlalu ramai, tetapi cafe yang berinterior ala Eropa itu sangatlah menyejukkan hati. Sebelumnya Thata tidak sendiri di cafe ini, tetapi Chaca yang mendadak ditelfon oleh ibunya pulang meninggalkan Thata seorang diri. Sambil menyeruput hot chocolatenya –dan masih berseragam sekolah- Thata mengedarkan pandangan kesekeliling cafe. Pandangannya terpusat oleh salah satu orang yang berada tak jauh dari mejanya. Tanpa Thata sadari seberkas senyum menghiasi bibirnya. Tanpa ragu, Thata berjalan menuju meja tersebut.

“Andre!” seru Thata.

Andre yang memang tidak menyangka akan bertemu dengan Thata, tersenyum ketika bertemu dengan gadis itu. “Thata, nggak nyangka bakal ketemu disini”.

“Iya nggak nyangka juga. Sendirian?” tanya Thata sambil mengedarkan pandangan kesekeliling cafe.

“Iya sendirian,” kata Andre yang tidak bisa menyembunyikan perasaan senangnya, “tapi kalau kamu mau duduk menemani aku disini, boleh aja”.

Tersipu malu oleh kata-kata Andre, Thata duduk di depannya Andre. Thata tidak tahu apa yang harus pertama kali Thata katakan, karena Thata sendiri bingung apa yang harus dibicarakan.

“Sendirian?” tanya Andre yang memecah keheningan yang terjadi selama beberapa saat.

“Iya seperti yang kamu lihat. Tapi tadi ada Chaca, dan Chacanya pulang”

“Dan sepertinya kamu seneng ketika bertemu denganku” Andre tersenyum ketika mengatakan kata-kata tersebut.

Thata merasa tubuhnya berubah menjadi lebih panas, terutama daerah wajahnya. “Apaan sih? Geer banget deh”. Thata memalingkan wajahnya agar Andre tidak bisa membaca wajahnya. Malu sekali dirinya.

“Tha”

Thata menengok kearah Andre. “ya?”

“Sepertinya tebakan kamu benar” Andre menghembuskan nafas panjang dan berpaling kearah luar cafe.

Thata mengerutkan dahinya. Tebakan? Thata tidak pernah merasa menebak sesuatu dari kehidupan Andre. “Tebakan? Tebakan apa?” tanya Thata bingung.

“Aku pindah karena mau melupakan sesuatu, dan itu benar”

Thata teringat akan seminggu yang lalu ketika Andre baru saja pindah ke sekolahnya. Thata memang mengatakan hal tersebut, dan memang ternyata dugaannya benar. Ingin rasanya Thata bertanya mengenai penyebabnya, tetapi Thata menahan diri dan menganggap ini adalah masalah pribadi Andre.

Tidak ada tanda-tanda Andre akan menjelaskan apa yang akan ia lupakan, tetapi Andre terus melanjutkannya. “Tapi itu belum berhasil”.

Tidak tahu apa yang harus dikatakan oleh Thata, Thata hanya diam dan menunggu Andre menceritakan yang selanjutnya. Tetapi tampaknya Andre tidak akan berkata apa-apa lagi, Thatapun berinisiatif untuk menanggapi. “Seminggu bukan waktu yang tepat untuk melupakan suatu masalah”. Thata menghembuskan nafas panjang dan melanjutkan, “Dan tidak akan terlupakan apabila kita terus memikirkannya”.

“Ya, tetapi orangtuaku memintaku untuk pindah”

Kening Thata berkerut heran. Heran akan pernyataan Andre dan jalan pikiran Andre. Melihat hal tersebut Andre tersenyum dan menjawab rasa heran Thata. “Karena ada masalah di keluarga yang ingin aku lupakan”

“Tidak kah bisa masalah keluarga diselesaikan secara baik-baik? Kamu tidak perlu melupakan masalah dengan melarikan diri dari masalah tersebut. Kalau orangtua kamu meminta kamu kembali ke Amerika ya kembalilah” kata Thata.

This is for the second timeNơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ