TMRC - Dua Puluh Tujuh - Di sini... Baik-Baik Saja

48.1K 4.1K 346
                                    

Terima kasih pada jarak yang sudah bijak memisahkan.

Terima kasih pada luka yang juga sudah baik mendorong langkah-langkah rapuh sampai ke tempat ini..

Tempat di mana aku mulai belajar bernapas tanpanya.

Terima kasih pada hati yang sudah belajar dewasa dan penurut.

Terima kasih pada air mata yang mulai malu-malu untuk jatuh,

Terima kasih pada waktu yang berbaik hati menghapus namanya dari hati ini.

***

Senin, 5 November 2015
Bournemounth, Inggris

Gebi mengalihkan pandangannya keluar jendela flat. Pemandangan kota Bournemounth menyuguhkan pohon-pohon gundul tanpa daun, efek musim gugur yang baru saja berakhir dan berganti dengan musim dingin.

Setelah merasakan syaraf-syarafnya sudah kembali normal, ia kembali tenggelam dengan kertas berisikan paper essay yang diberikan Ms. Brigita. Beberapa detik kemudian Gebi merasakan bahunya disentuh.

"Halo, Little Girl?" sapa seseorang.

Mark sedang tersenyum padanya. Gebi mendengus kesal setiap kali mendengar dirinya dipanggil seperti itu. Sejujurnya, dia risih dengan teman-temannya yang selalu memanggilnya dengan sebutan 'Little Girl'.  

Gebi menyesali bentuk visualisasi orang Asia yang selalu terlihat seperti 'kenop baju' jika berada di antara orang-orang ras tertentu. Gebi sampai harus mengecek sarapan apa yang dimakan teman-temannya dari benua berbeda. Dan terakhir kali dia cek, teman-temannya tidak pernah terlihat memakan tiang listrik atau sesuatu yang aneh lainnya. Tapi hebatnya, mereka tumbuh menjulang tinggi seperti bangunan-bangunan pencakar langit dan membuat Gebi sangat terintimidasi dengan bentuk tubuhnya yang seperti kloset duduk.

Sebenarnya, Gebi bukan satu-satunya orang Asia di kampusnya. Bahkan dalam kelas ini, dia mempunyai enam teman dari Asia. Tapi tubuh Gebi tetaplah yang paling mungil di antara keenam temannya yang berasal dari benua yang sama.

"Jibi," panggil Mark lagi.

Bola mata Gebi terputar malas. Dia terlanjur terbiasa dengan orang-orang di sini yang tidak pernah bisa mengucap namanya dengan benar. Enam bulan pertama, Gebi selalu antusias dan sabarnya mengoreksi bagaimana cara melafalkan namanya dengan benar. Namun, dua tahun berlalu semenjak tinggal di sini, Gebi akhirnya pasrah namanya berubah dari Gebi menjadi Jibi.

Mark tersenyum saat melihat wajah kesal Gebi. "Makan malam denganku, Sayang?"

Wajah kesal Gebi perlahan-lahan ceria, Sialan! Baru dua tahun berteman, pria di depannya ini sudah hafal kelemahannya yang kesulitan menolak tawaran makan. Gebi mengingat-ingat lagi kapan terakhir kali dia makan. Dan astaga! Dia baru sadar seharian ini perutnya hanya terisi air mineral saja.

"Tentu saja kalau kau yang membayarnya," jawab Gebi realistis. Mark malah mengangguk antusias.

Sebenarnya Gebi sedikit tidak enak karena ini bukan yang pertama kalinya Mark membelikan makanan. Parahnya lagi, dia tidak pernah menolak satu kali pun ajakan Mark. Laki-laki itu sepertinya mempunyai alat pendeteksi yang bisa mengetahui keadaan perut Gebi tiap kali Gebi lapar.

Saat kelas bubar, Gebi dan Mark buru-buru menghambur keluar kelas. Mereka mencari tempat makan yang pas di sekitar kampus. Gebi berjalan sejajar dengan Mark dan menyembunyikan tangannya ke dalam saku coat-nya.

"Kau tidak memakai sarung tangan?" tanya Mark mendapati Gebi menggosok-gosok tangan ke underarm-nya.

"Aku lupa," jawab Gebi enteng.

The Marriage Roller CoasterDonde viven las historias. Descúbrelo ahora