TMRC - Tujuh belas (Tentang Bumi Dan Sentuhan Pertama)

40.5K 3.3K 253
                                    

"Bumi Pranata!" pekik Gebi.

Dia tidak bisa menyembunyikan rasa gugup dan senangnya yang meluap begitu saja melihat pria bernama Bumi ini. Gebi memperhatikan pria itu lekat-lekat—kecuali rambutnya yang sekarang lebih memanjang sejak empat tahun lalu Gebi melihatnya—Bumi tidak banyak berubah. Masih senang menggunakan celana selutut, kaos oblong, dan tidak pernah lepas darinya adalah sendal gunung yang sering digunakan setiap hari, besera topi army yang selalu tertanam di kepalanya.

Bumi adalah pria yang sudah dekat dengan Gebi sejak kecil. Selain rumah mereka yang dekat, mereka juga selalu bersekolah di sekolah yang sama sampai kuliah. Hanya saja mereka berbeda jurusan karena Bumi mengambil Arsitek dan Gebi Jurnalistik.

Wangi lembut langsung memenuhi penciuman Gebi ketika Bumi berdiri di hadapannya. Wangi yang selalu mengisi paru-parunya dulu. Yang selalu Gebi rindukan beberapa tahun ini. Sangat-sangat rindu.


***

Empat tahun lalu.

"Put. Kali ini kau benar-benar keterlaluan. Aku tidak akan bicara denganmu lagi!"

Gebi setengah berlari di koridor kampus. Tangannya menenteng sebuah tas ransel dan dokumen berisi revisi skripsi. Sedangkan Putri mengekornya.

"Aku minta maaf, Geb. Aku benar-benar minta maaf! Tapi aku hanya berniat membantumu."

"Membantuku??" Gebi berhenti dan berbalik menghadang Putri. "Kau sebut itu bantuan?"

"Ya."

Tertawa sinis. "Kau sudah mempermalukan aku, Put! Dan gara-gara kelancanganmu ini, sebentar lagi persahabatan aku dan Bumi akan hancur!" teriak Gebi. Napasnya naik turun menahan emosinya yang membuncah.

Putri menggeleng sebagai bantahan. "Tidak, Geb. Kalian akan tetap bersahabat. Tidak akan ada yang berubah walaupun Bumi sudah tau perasaanmu."

Gebi tidak peduli. Dia masuk ke kelas membanting ranselnya ke kursi. Untunglah keadaan kelas sudah sepi karena memang tidak begitu banyak aktivitas perkuliahan hari itu.

"Kau tidak ada di posisiku, Put. Kau tidak tau apa-apa! Dan tidak akan pernah mengerti!" teriak Gebi, Dia menutup wajahnya dengan telapak tangan kemudian mengusapnya dengan kasar. "Persahabatan ini tidak akan bisa kembali seperti sebelumnya kalau di antara kita ada yang mengacaukannya dengan perasaan suka. Bukankah kau sendiri juga melakukan hal yang sama pada Zero? Kau lebih memilih memendam perasaanmu daripada memberitahukan padanya. Dan aku juga seperti itu, Put. Aku masih ingin bersahabat dengan Bumi. Tidak mau membuat hubungan kami menjadi canggung karena sudah saling mengetahui soal perasaan. Bagaimana kalau Bumi membenciku? Apa kau pernah berpikir soal itu? Kenapa kau membacakan hal yang paling aku rahasiakan kepadanya? Itu sama saja seperti kau menelanjangiku di tempat umum, Put! Itu memalukan!"

Putri mendekati Gebi dan menyentuh puncak kepala sahabatnya itu dengan sayang. "Bumi tidak seperti itu, Gebi. Dia sayang padamu. Tidak mungkin dia membencimu. Kalaupun dia seperti itu, dia tidak akan mencarimu beberapa hari ini. Kau sendiri, kan, yang menghindarinya?"

Gebi mengangkat wajahnya dan menatap Putri dengan tatapan marah. "Ya karena AKU MALU, PUT!" teriaknya murka. "Dan itu gara-gara kau!" Telunjuk murkanya menuding wajah Putri. "Aku tau kau peduli. Tapi, bisakah kau tidak mencampuri urusan pribadiku? Apa kau tau batas antara peduli dan ikut campur? Kau lebih baik pergi, Put. Aku tidak bisa menjamin keselamatanmu kalau kau tetap ada di depanku saat ini. Pergi, Put, pergi!" usir Gebi berapi-api.

"Baik, Geb. Tapi nanti sore aku akan ke rumahmu."

Putri beranjak keluar dan berhenti saat melihat Bumi sudah berdiri di pintu kelas itu. Dia menepuk bahu bumi seolah-olah meyakinkan pria itu. Bumi hanya tersenyum dan mengangguk sementara Gebintang sudah pucat pasih melihat Bumi berjalan ke arahnya. Keadaan tidak memungkinkannya untuk kabur lagi—seperti yang sudah dilakukannya beberapa hari belakangan.

The Marriage Roller CoasterWhere stories live. Discover now